DEMI SEBUAH KURSI
Kursi sudah lama menjadi bagian dari keseharian hidup manusia. Bahkan bagi manusia modern, kursi sangatlah penting keberadaannya. Dikantor atau dimana pun kita berada, selalu mencari kursi yang paling nyaman untuk diduduki. Ditempat kerja, anda pasti akan merasa senang bila mendapat kursi yang bisa berputar putar, memiliki kaki yang beroda, apalagi sandarannya bisa pula direbahkan kebelakang.
Terlepas dari enak dan tidaknya kursi, yang pasti kursi tetap dicari. Dalam posisi dikereta api yang penuh sesak pun misalnya - sehingga mengharuskan penumpangnya berdiri - keberadaan kursi kecil, keras dan tak nyaman pun jadi rebutan. Itulah kursi, mau enak atau tidak dikala diperlukan dia menjadi barang yang istimewa.
Kini, semakin banyak orang mencari kursi. Bukan kursi sembarang kursi tentunya. Dikala masa pemilu digulirkan, seorang calon legislatif harus rela merogoh koceknya dalam dalam hanya untuk mencari sebuah kursi. Kisarannya bisa mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah. Tak cukup disitu. Dia pun harus nampang dimana mana. Baliho, poster, stiker, leaflet, kaos dan spanduk bahkan sampai kaca film diangkutan kota bergambar diri dan janji janji politiknya disebarkan dengan biaya yang tidak sedikit.
Lagi lagi, tak cukup disitu. Dia pun dituntut untuk beriklan dimedia massa cetak, elektronik bahkan sampai kemedia on line. Memang tidak semua calon legislatif mampu meraih semua cara beriklan seperti itu, sebab semuanya sangat tergantung pada tebal dan tipisnya kantong. Bagi calon legislatif yang berkantong cekak, nampang dipohon pohon, tembok rumah orang atau dipintu angkutan kota, mungkin sudah dirasa cukup.
Beragam motivasi orang untuk berbondong antri menjadi calon legislatif. Ada yang karena mengaku panggilan jiwa sebagai kader sebuah partai politik. Ada yang ingin mencoba mewakili rakyat karena merasa punya kemampuan untuk itu. Ada yang sudah tidak tahu bagaimana caranya lagi mengaktualisasikan diri. Ada yang mencoba peruntungan baru. Celakanya, ada juga yang berambisi menjadi kaya raya dengan cara ini. Masih banyak lagi motivasi orang menjadi calon legislatif. Sehingga tidak aneh bila calon legislatif berasal dari berbagai lapisan masyarakat, hingga seorang pedagang bakso pun punya nyali ikut dalam “audisi” ini. Semuanya demi sebuah kursi ...
Tapi kursi tetaplah kursi. Anda jangan lama lama duduk disana. Selain, karena bisa menyebabkan anda menjadi gemuk - bagi yang belum – duduk terlalu lama dikursi dapat merusak organ tubuh kita. Hal itu telah diingatkan ilmu pengobatan klasik Cina yang dikenal dengan Huang Di Nei Jing, 2000 yang lalu. Dari sisi yang lain, anda tidak bisa terlalu lama duduk dikursi karena sebagai wakil rakyat – bila terpilih – anda harus terus bergerak menyerap aspirasi dan kegundahan masyarakat. Dan itu pasti tidak dapat anda lakukan bila hanya duduk terpaku dikursi dan mengandalkan laporan dari staf anda.
Biarpun sangat dibutuhkan, anda tetap harus hati hati dengan yang namanya kursi. Setidaknya anda harus bijak dalam memperlakukannya. Kursi yang nyaman – dengan berbagai keunggulannya – bisa bisa hanya menjadikan anda malas untuk bergerak. Pada akhirnya, kursi yang nyaman memanjakan kita. Cukup dengan mendorong kursi dengan kaki, kita sudah bisa menjangkau atau mengambil sesuatu. Untuk berdiri, jelas malas rasanya. Bukan itu saja. Saking enaknya duduk dikursi, sampai sampai kita bisa tertidur diatasnya dengan merebahkan sandarannya. Sepintas mengasyikan memang.
Yang harus dipahami, menjadi wakil rakyat selain memangku amanah yang berat, juga tidak mudah menjalaninya. Bayangkan saja, hanya untuk mendapatkan informasi yang akurat dari konstituennya saja, mereka harus banyak melakukan perjalanan melelahkan disela sela kesibukannya rapat dilingkungan dewan. Itulah yang mestinya dilakukan bila mereka ingin bekerja sepenuh hati dan sesuai janji. Melelahkan memang. Tapi itulah sejatinya sebuah pilihan. Pilihan untuk ingin dan mau dipilih sebagai wakil rakyat.