Kamis, 19 Februari 2009

Membangun Kembali

Kepercayaan Publik

Oleh: Syam Alam

Ditengah maraknya suap menyuap terhadap pejabat publik, harapan bagi terciptanya pencitraan terhadap lembaga negara masih belum memuai. Rakyat masih berharap suatu saat mereka memiliki para pemimpin yang benar benar amanah dan tidak mau disuap atau menyuap.

Reformasi bangsa ini memang masih terus diuji. Usia kemerdekaan yang terus bertambah bukanlah jaminan kita bisa mendapatkan sebuah generasi yang benar benar ingin melayani rakyat dan bukannya sebaliknya. Pemahaman terhadap prinsip prinsip luhur dalam berbangsa dan bernegara juga tidak sepenuhnya diserap.

Sehingga, bagaimana mau menjalankan sebuah amanah dengan baik bila prinsip yang paling hakiki dari integritas kekuasaan saja tidak dipahami. Bahwa hak atas kekuasaan yang diperoleh menjadi satu paket dengan kewajiban memakmurkan bangsa. Artinya, kekuasaan yang diperoleh inherent atau lekat dengan sebuah kewajiban luhur. Bahwa kekuasaan hanya sebagai sarana untuk melayani rakyat dan bukannya sebuah tujuan.

Celakanya, ketika yang dipahami adalah kekuasaan sebagai sebuah tujuan belaka, maka yang terjadi seperti yang sering kita saksikan saat ini. Untuk mencapai kekuasaan, banyak pejabat publik yang sampai harus menggelontorkan dana ratusan bahkan milyaran rupiah untuk mencari dukungan bahkan menyuap. Ironis memang. Ini terjadi ketika kita sedang mencoba untuk percaya bahwa reformasi pada gilirannya akan melahirkan para pemimpin yang tidak hanya berjiwa reformis tapi lebih dari itu ingin melayani rakyat.

Seharusnya bisa dipahami pula bahwa bila politik suap menyuap ini dibiarkan terus menjadi sesuatu yang lumrah, maka pada akhirnya akan menggerus integritas bangsa. Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah kembalinya kepercayaan publik bagi kelangsungan lembaga negara dan bangsa dimata internasional.

Sebagai bangsa yang terus menggodok kematangan dan kedewasaan generasinya, semua komponen yang ada didalamnya harus bahu membahu dalam membangun kembali kepercayaan publik yang sempat tercabik cabik.

Kiita sudah banyak membuang waktu dengan berkonflik yang seakan tiada hentinya. Kita juga sudah membuang waktu untuk tidak menyiapkan sebuah generasi yang bakal mewarisi semangat perjuangan para pendahulu negeri ini. Kita justru lebih sering membuang waktu hanya untuk melobi agar kekuasaan terus berlangsung dan bertambah. Tanpa menyadari bahwa untuk mengejar tujuan tersebut, ternyata harus mengorbankan begitu banyak peluang untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Menyiapkan TKI Profesional

Oleh: Syam Alam

Bagi sebagian rakyat Indonesia, bekerja diluar negeri merupakan sebuah tujuan. Mereka rela mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk modal menjadi Tenaga Kerja Indonesia atau TKI. Bahkan banyak diantaranya yang harus jatuh bangun mencari pinjaman atau menjual harta benda hanya agar mereka bisa terdaftar sebagai TKI. Banyak diantara mereka pula yang kemudian gigit jari lantaran tertipu oknum pengerah tenaga kerja.

Namun tidak semua orang berfikir bahwa bekerja diluar negeri sebagai TKI itu enak. Paling tidak, mereka memiliki keyakinan bahwa tidak selamanya bekerja dinegeri orang berlimpah uang dan kenyamanan. Bagaimanapun juga bekerja diluar negeri sangat beresiko bagi terjadinya kekerasan fisik yang mengarah pada penganiayaan. Penistaan terhadap nilai nilai kemanusiaan terhadap TKI khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) saat ini sering kita jumpai. Bahkan, yang pulang dengan peti mati pun sering terjadi.

Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa dari keringat dan perjuangan hidup para TKI ini, devisa banyak didatangkan. Direktur Pengembangan Kesempatan Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, M.Silalahi menjelaskan jumlah uang yang dikirim TKI diberbagai negara setiap tahunnya mencapai Rp.30 trilyun lebih. Luar biasa.

Jumlah kiriman itu terus meningkat seiring terus bertambahnya jumlah TKI yang bekerja diluar negeri. Bayangkan saja, setiap tahunnya tak kurang dari 700.000 orang berangkat keluar negeri menjadi TKI. Ditahun 2008 saja targetnya bahkan mencapai satu juta orang. Sebuah angka yang sangat besar bagi pengerahan tenaga kerja keluar negeri.

Dengan semakin besarnya jumlah TKI, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan perlindungan terhadap para pahlawan devisa ini. Disisi lain, pemerintah juga harus terus mendorong pengiriman tenaga kerja professional, seperti tenaga kerja dibidang teknik informatika, teknik mesin, tambang, perawat dan lain lain. Melihat peluang kerja dibidang profesional itu masih cukup besar, maka berbagai pelatihan juga harus terus digalang agar para TKI yang dikirim benar benar terlatih dan terdidik serta memiliki daya saing dengan tenaga kerja negara lain.

Kita masih prihatin, ternyata 70 persen TKI yang dikirim keluar negeri, semuanya bekerja disektor informal seperti menjadi pembantu rumah tangga atau sopir. Seharusnya angka ini bisa berkurang seiring semakin besarnya peran pemerintah menyiapkan tenaga kerja professional.

Kita berharap, semoga tidak ada lagi cerita TKI yang nasibnya terlunta lunta dinegeri orang. Sebab ketika TKI dihantarkan sampai kebandara, kita pastilah tidak mengharapkan mereka nantinya pulang dalam keadaan teraniaya atau dalam keadaan sudah menjadi mayat.

Pendidikan Untuk Semua Anak Bangsa
Oleh: Syam Alam
______________________________________________________________________

Ditengah perkembangannya, bangsa kita masih bergumul dengan berbagai permasalahan hidup. Begitu banyak masalah yang berpotensi dan sudah mempengaruhi perekonomian nasional. Untuk kesekian kalinya rakyat harus lebih mengencangkan ikat pinggangnya ketika mereka dihadapkan dengan berbagai peningkatan biaya hidup, termasuk ketika harus berhadapan dengan masih mahalnya biaya pendidikan.

Dunia pendidikan yang seharusnya sudah menyentuh semua lini masyarakat, hingga saat ini masih dirasa terlampau mahal. Masih banyak masyarakat yang seharusnya dibebaskan dari biaya pendidikan justeru harus berbagi periuk antara memenuhi kebutuhan makan sehari hari dan menyisihkan biaya untuk pendidikan.

Sementara dilain sisi pemerintah dinilai masih kurang memberikan perhatian yang selayaknya terhadap dunia pendidikan. Pemerintah masih dianggap gamang dalam menyalurkan anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan sebagaimana diamanatkan konstitusi. Sebagaimana kita tahu, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 45 Tahun 2007, pemerintah seharusnya menyediakan anggaran sebesar 20 persen dari APBN bagi pendidikan.

Masalah didunia pendidikan kita seharusnya tidak terjadi lagi ketika anggaran pendidikan sebesar 20 persen nantinya ditangani secara akuntabel, transparan dan bertanggung jawab. Alokasi anggaran Departemen Pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN 2009 ini tercatat yang paling tinggi dibanding departemen lain.

Selama ini, kecilnya anggaran dijadikan alasan terjadinya keterbelakangan pengembangan sumber daya manusia. Sekedar contoh, ketika pada tahun 2001 anggaran pendidikan kita hanya 10 persen dari APBN, di Thailand sudah menyentuh angka 30 persen. Kecilnya anggaran pendidikan inilah yang kemudian dijadikan kambing hitam bagi kemorosotan mutu pendidikan nasional kita.

Sudah seharusnya semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan dinegeri ini tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai ajang komersialisasi atau mencari keuntungan belaka. Karena semua rakyat berhak untuk menikmati pendidikan, maka sudah merupakani kewajiban bagi pemerintah untuk mengupayakan ketersediaan pendidikan untuk semua anak bangsa.

Selasa, 17 Februari 2009

Sikap Bijak Dalam Kebebasan Pers

Oleh: Syam Alam

Saat ini sudah bukan jamannya pers dikebiri. Pers sudah bisa menempatkan dirinya dalam posisi mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, sementara disisi lain sudah mampu bertanggung jawab terhadap sikap kritisnya.

Dimasa lalu, pers seakan jalan ditempat. Mereka sering bungkam atau dibuat bungkam untuk menyikapi gejolak sosial yang terjadi. Jelas kehidupan pers semacam ini adalah kehidupan pers yang tidak sehat dan tidak mendidik bagi upaya pencerdasan masyarakat. Apalagi, ketika dihadapkan pada isu kampanye partai politik, dimana saat suhu memanas, kontrol terhadap pers sering terlampau menjerat.

Dimasa reformasi, kita menyaksikan wajah pers yang lain, yaitu pers yang lebih bergairah dan mulai berani menempatklan posisi mereka sebagai kontrol pemerintah. Namun pada kenyataannya kita masih sering menyaksikan pers yang kebablasan serta tidak seimbang dalam pemberitaan. Asumsi yang berkembang saat ini, betapa pers kita masih diganggu oleh euphoria reformasi.

Menjelang pilpres 2009 suhu pemberitaan sudah mulai terasa memanas. Menghadapi masa kampanye biasanya kita dihadapkan pada isu-isu yang yang tidak hanya menguliti kebijakan, namun juga sudah mengarah pada caracter assination beberapa tokoh yang tidak dikehendaki. Tentu saja kita tidak menginginkan pemberitaan yang tidak proporsional dan membuat rakyat menjadi bingung. Yang kita harapkan justeru menjelang pilpres 2009, pers kita mampu jauh lebih dewasa dalam bersikap dan menempatkan diri.

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjamin bahwa selama masa kampanye nanti tidak akan ada pencabutan perijinan pers, ini memang cukup melegakan. Sebagaimana ditegaskan Menteri Komunikasi Muhammad Nuh, pemerintah memberikan garansi tidak akan ada pembatasan termasuk pencabutan perijinan pers. Namun, apakah ini menjamin bahwa pers kita akan menjadi lebih dewasa ?.

Terlepas dari nada sumbang yang beredar bahwa kebebasan pers yang dijamin presiden adalah sebuah manuver untuk meraih simpati menjelang pilpres 2009, namun yang jelas kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar ini harusnya disikapi jauh lebih dewasa oleh insan pers. Dengan kebebasan pers ini kita justeru ingin menyaksikan (juga membuktikan) pers jauh yang lebih dewasa, lebih matang dan lebih bertanggung jawab.

Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.