Facebook Kita:
Sebuah Rekreasi Realitas?
Oleh: Syam Alam
“Facebook membantu anda berhubungan dan berbagi dengan orang orang dalam kehidupan anda“. Itulah kalimat pembuka yang saya jumpai dikala saya masuk kehalaman muka jejaring pertemanan dunia maya, Facebook.com.
Memang terasa mengasyikan setelah saya sukses membuat akun atas nama saya disana. Diera cyber saat ini menjadi amat mudah untuk mencari teman dari “dunia lain“ yang sebelumnya tidak kita kenal siapa jati dirinya. Memang ada pula teman teman lama yang ikut terjaring dalam jejaring pertemanan dunia maya ini. Kalimat kalimat seperti, “Eh, elu disini juga ya, ikut mejeng juga nih ye, hai kemana aja aduuhh senengnya bisa ketemu,” dan seterusnya, adalah sapaan yang biasa kita jumpai ketika “bertemu“ teman lama. Asyik memang ...
Maka mulailah Facebook “menghubungkan“ saya dengan sebuah dunia yang lain. Saya pun bisa “bersilaturahmi“ dengan kawan kawan lama yang bertahun tahun tidak bertemu. Walhasil, Facebook telah mampu memperpendek jarak antara kita. Luar biasa. Tak terpikirkan oleh saya - bahkan ketika Mark Zuckerberg mengembangkan Facebook pada Februari 2004 dari ruang kamarnya di Harvard - bahwa saya bisa menemukan “dunia lain” diluar realitas kehidupan sosial saya. Sebuah dunia dimana kita bisa berkontemplasi dengan masa lalu dan menjangkau masa kini.
Kita kemudian bisa saling merasakan keadaan masing masing. Keluh kesah, semangat, harapan bahkan imajinasi pun bisa saling kita komentari. Laiknya sebuah tatanan sosial, para penghuni Facebook pun bisa saling berkunjung, menanyakan kabar atau sekedar – maaf – mengunggah foto foto narsisnya. Sesuatu yang juga saya lakukan..
Ketika saya menulis kolom ini, jangan artikan saya ada diluar dunia anda. Saya adalah juga anda, sama sama penghuni Facebook. Kita sama sama “bertetangga” dan bukan masalah
Sekali lagi, saya sama seperti anda. Sama sama penghuni Facebook. Namun saya merasakan sebuah kegamangan – atau mungkin tepatnya ketakutan – bahwa apa yang kita lakukan ini hanya merupakan sebuah pelarian dari realitas sosial yang sengaja kita hindari.
Diera cyber seperti saat ini memang sulit bagi kita untuk menolak menjadi username di Facebook. Namun keniscayaan ini bukannya kemudian mematikan nalar kita untuk mengkritisi dunia kita yang baru ini. Barangkali adalah sebuah sikap yang bijak ketika kita mau menyisihkan waktu didunia maya ini, disisi lain kita masih memiliki gairah untuk menghidupkan realitas sosial dialam nyata. Artinya, kita tidak mau mentah mentah menelan semua ini hanya sebagai rekreasi realita belaka.
Maka, silahkan anda – dan juga saya tentunya – meneruskan keasyikan ini entah hanya sekedar memperbaiki status diwall, menulis puisi, membuat catatan harian, mengabarkan aktifitas atau mengunggah foto foto dan video yang ingin dibagikan. Namun disisi lain kita tetap menapakkan kaki kebumi untuk terus menjalankan aktifitas kehidupan sosial yang nyata. Dengan demikian kita tidak menyerahkan begitu saja kehidupan yang indah dalam fitrah Allah ini untuk diambil alih oleh kekuasaan media.
Sehingga, ketika kita asyik menjalin “kehidupan” didunia maya, kita masih getol untuk menyambangi teman, saudara atau tetangga disekitar kita walau hanya untuk sekedar menyapa, “Hai, bagaimana kabarnya, sehat sehat kan?!.” Sebagaimana yang sering kita tulis didinding teman teman kita, di Facebook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar