Rabu, 28 Januari 2009

KORUPSI KOK BERJAMAAH ...

Oleh: Syam Alam

Segala sesuatu yang dilakukan secara bersama sama tentu dampaknya akan sangat luar biasa. Tidak peduli apakah itu dilakukan untuk sesuatu berupa kebaikan atau sebaliknya, kejahatan.

Dalam melakukan shalat misalnya. Bila dilakukan secara bersama sama atau berjamaah, maka pahala yang diterima bakal berbeda dengan shalat yang dilakukan secara sendiri sendiri. Bisa berlipat lipat sampai dua puluh tujuh derajat. Luar biasa.

Nah, ketika korupsi sudah menjadi bagian dari sistem, kita kemudian mengenal apa yang disebut sebagai korupsi yang dilakukan secara bersama sama. Korupsi yang dilakukan secara sistemik ini, sudah mengubur “trend” lama yaitu korupsi yang dilakukan secara sendiri sendiri. Bahkan, sebuah obrolan diwarung kopi mengatakan, “Ah, jaman sekarang mah kalau korupsi dilakukan sendiri sendiri sudah usang. Korupsi sekarang mah dilakukan berjamaah!.” Berjamaah?!.

Yah, berjamaah. Karena korupsi di Indonesia bukan hanya menyangkut penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) saja, namun sudah menjadi bagian dari kekuasaan yang saling bersentuhan satu dengan lainnya. Bahkan, korupsi sudah menjadi bagian yang melekat dengan sistem itu sendiri.

Upaya maksimal penegakan hukum harus disertai pendekatan sistem atau systemic approach karena korupsi sudah mengakar sebagai korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan.

Dengan pendekatan ini, misalnya, nantinya lembaga peradilan tidak lagi melakukan “tebang pilih” kasus korupsi yang bakal ditangani. Apalagi bila ini menyangkut kasus korupsi berjamaah yang tidak hanya menggurita dikalangan eksekutif saja namun juga melibatkan institusi kenegaraan lainnya seperti legislatif, yudikatif maupun institusi negara non departemen.

Cukup sudah negeri ini terkoyak moyak lantaran korupsi yang dilakukan secara membabi buta. Dan karena korupsi sudah lazim dilakukan secara berjamaah maka memeranginya pun harus dilakukan secara berjamaah pula dengan melibatkan semua pihak termasuk masyarakat dan pers sebagai social power dan institusi kenegaraan sebagai political power.

Saatnya mengatakan, “Tidak ada tempat bagi koruptor dinegeri ini!.”

MUHASABAH

Ini cerita tentang seseorang yang tinggal didesa terpencil. Suatu ketika tanpa disangka sangka orang desa ini bertemu dengan kawan lamanya yang telah menjadi orang kaya dikota. Lalu diundanglah dia kekota dan dijamu dengan berbagai fasilitas yang belum pernah dia rasakan selama tinggal didesa.

Celakanya, orang ini – sebut saja si fulan - pelit bertanya dan terkesan sok tau. Begitu pun ketika dia diinapkan disebuah hotel berbintang dengan fasilitas kamar yang lengkap, dia tidak mau bertanya dan nrimo saja atas semua yang disediakan pihak pengelola hotel.

Suatu ketika si fulan hendak mandi. Dia bingung ada dua kran, yang satu berwarna merah dan satunya lagi berwarna biru. Akhirnya dia memilih memutar kran yang berwarna merah. Dia kaget!. Airnya panas. Lalu dia putar kran yang biru. Dia pun kaget!. Airnya dingin. Akhirnya dia pun mulai asyik menikmati mandinya.

Kemudian, si fulan memberanikan diri bertanya kepada pelayan hotel, “Pak, dimana ya tempat menjual kran merah dan biru seperti yang dikamar mandi ini?.” Pelayan hotel dengan muka penuh tanya menjawab, “Oh, bapak bisa membelinya ditoko material. Modelnya juga banyak kok pak.”

Nah, si fulan berpikir, nanti kalau hendak pulang kedesanya dia akan membeli dua kran warna merah dan biru seperti yang ada dihotel tempat dia menginap.

Singkat cerita, tibalah waktunya si fulan pulang kembali kekampungnya. Sebelumnya, tentu saja dia mampir ketoko material untuk membeli kran warna merah dan biru.

Setiba dikampungnya, dia pamerkan kedua krannya itu sembari mengatakan akan membuat kejutan hebat. Maka tidak berlama lama dia menjebol tembok kamar mandinya untuk menempelkan dua krannya tadi. Setelah disemen rapi, maka dia mempersilahkan orang orang menyaksikan, bahwa kran yang berwarna merah akan mengeluarkan air panas dan kran yang biru mengeluarkan air dingin.

Tapi tentu saja dia kaget bukan kepalang!. Ternyata ocehannya tidak terbukti dan orang orang dikampungnya menganggapnya sudah gila. Ramai orang kampung mengatakan bahwa si fulan sepulang dari kota menjadi gila.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari keluguan – atau mungkin lebih tepat disebut kedunguan - si fulan ini?. Inilah tamsil betapa seringnya kita - dengan tidak sadar tentunya - berperilaku seperti si fulan yang tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa untuk memancarkan air panas dan dingin kedua kran tadi harus dihubungkan dengan pipa lalu ketandon dan sebagainya sampai pada konektor yang menghubungkan dengan water heater serta proses lainnya. Semuanya tidak tampak dipermukaan, tapi nyatanya ada.

Artinya, ada proses yang dia lupakan. Dia hanya tahu hasilnya saja, namun melupakan bahwa hasil atau output tadi harus melalui proses yang panjang. Kita pun sering bersikap demikian. Kita hanya mampu melihat pohon tumbuh, hewan beranak pinak, anak anak kita tumbuh berkembang, harta semakin banyak atau usia yang semakin menggerus badan dan seterusnya, tanpa mau menelusuri adanya "kanal kanal“ yang menghubungkan semua hasil tadi dengan Sang Maha Pencipta, Allah Azza wa Jalla. Kita sering lupa menyisihkan waktu untuk menelusuri kazanah keagungan Sang Maha Pencipta. Semoga kita tidak (semakin) terlanjur menjadi "dungu" dan sok tau hanya lantaran kita memang tidak mau tahu. Wallahu a’lam.

Kamis, 22 Januari 2009

TANGISAN UMAR BIN ABDUL AZIZ
Oleh : Syam Alam

Setelah dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz beranjak kemusholanya. Disanalah dia menangis tersedu sedu ...

Ketika ditanya mengapa beliau menangis sejadi jadinya, padahal baru memperoleh kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz menjawab:

“Aku memikul amanat ummat ini dan aku menangisi orang orang yang menjadi amanat atasku, yaitu kaum fakir miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang kehilangan tujuan dan terlantar, orang orang yang dizalimi dan dipaksa menerimanya, orang orang yang banyak anaknya dan berat kehidupannya. Aku merasa bertanggung jawab atas beban mereka. Karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku.”

Masa terus berlalu, dunia berpacu dengan ambisi manusia untuk terus mencari dan menumpuk kekuasaan. Kini yang sering kita jumpai begitu banyak orang yang meluapkan suka citanya ketika mendapatkan kekuasaan. Dengan dalih “syukuran”, mereka mengadakan berbagai pesta. Luapan gelora kebungahan ini kemudian menenggelamkan esensi jabatan atau kekuasaan yang baru didapatnya.

Betapa kekuasaan sudah dipandang sebagai tujuan dan bukannya “kendaraan” untuk mensejahterakan ummat. Karena itu jangan heran, bila untuk mendapatkan kekuasaan, banyak orang yang kemudian menempuh jalan yang tidak rasional seperti pergi kedukun, mencari azimat, memakai aji aji pengasih, menyuap, menelikung, membayar pengerahan massa serta perilaku lain yang sungguh menjijikkan.

Sungguh malu rasanya kalau harus membandingkan suasana hati Umar bin Abdul Aziz ketika mendapatkan kekuasaan, dengan para pejabat kita yang justeru berpesta pora dan lupa diri. Sungguh, seharusnya kita malu ...

Jumat, 16 Januari 2009


NASIHAT ULAMA
Oleh:
Syam Alam

Setelah dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz meminta nasihat kepada para ulama. Salah satu ulama, Salim bin Abdullah memberi nasihat, “Wahai khalifah, jadikanlah seluruh rakyat sebagai ayah, saudara dan anakmu. Berbaktilah kepada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan saudara saudaramu dan sayangilah anakmu.”

Ulama lain, Muhammad bin Ka’ab menasihatinya, “Wahai khalifah, cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Dan bencilah sesuatu untuk orang lain, sebagaimana engkau membenci sesuatu untuk dirimu sendiri.”

Sementara ulama Hassan al-Basri menasihatinya, “Demi Allah aku telah bergaul dengan banyak orang yang sedap dipandang oleh mata dan tutur katanya menyentuh hati. Ucapan mereka adalah penawar bagi apa yang ada didalam dada. Memelihara dengan apa yang halal, lebih mereka utamakan daripada menjaga diri dari yang haram. Perhatian mereka terhadap shalat sunnat lebih besar daripada perhatian kita terhadap shalat fardhu. Mereka menutupi kebaikan kebaikan yang mereka lakukan, sebagaimana kita menutup nutupi segala keburukan kita. Mereka menangis jika berbuat kebaikan, sementara kita tertawa jika berbuat kesalahan.”

Mendengar semua nasihat tadi, khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu sedu sambil menutupi wajahnya.









KESALEHAN SOSIAL
Oleh: Syam Alam

Disaat jaman telah menuntut masyarakat perkotaan berpola hidup konsumtif dan berlabel hedonis, maka ketika itu pula praktis mereka telah mengabaikan nilai nilai kesalehan sosial.

Hidup mereka bagai terlepas dari ikatan tata krama dan kepekaan terhadap persoalan lingkungan sosialnya. Akhirnya, kita sulit menemukan semangat kebersamaan untuk membangun lingkungan sosial, yang pada gilirannya melumpuhkan effort untuk memerangi kemiskinan.

Karena itulah, himbauan agar masyarakat menghidupkan kembali kesalehan sosialnya, ibarat oase ditengah kegersangan hidup materialistis. Percayalah, bila masyarakat kota mengedepankan nilai nilai kesalehan sosialnya, maka penistaan terhadap norma norma kehidupan masyarakat tidak akan kita temui lagi.

Dengan semangat mengedepankan kesalehan sosial, semua akan terpacu adrenalinnya untuk berusaha memberikan manfaat kepada seluruh elemen lingkungan sosialnya. Tidak ada lagi individualisme sebagai bagian dari gaya hidup hedonis. Tidak ada lagi keluhan sebagian warga akibat tindakan warga lain yang merugikan. Orang tidak lagi mengomel lantaran tetangganya berbuat gaduh, membuang sampah sembarangan atau lantaran rumahnya dibobol maling. Bahkan, tidak ada lagi warga yang menderita kelaparan lantaran lepas dari perhatian tetangganya.

Dengan mengedepankan kesalehan sosialnya, setiap warga masyarakat pastilah akan mempedulikan agar warga yang lain terjaga security feeling nya ketika mereka terjaga dari bangun tidur.

Kita telah membuktikan bahwa gaya hidup materialistis yang dianut masyarakat perkotaan selama ini telah nyata nyata melumpuhkan sendi sendi kebersamaan, persaudaraan, keguyuban dan semangat silih asah, silih asuh dan silih asih yang telah diwariskan para orang tua kita. Maka, sudah saatnya kita menemukan kembali akar kehidupan kita dalam bermasyarakat, yaitu memberikan manfaat bagi sesama.










Kamis, 15 Januari 2009


SUPREME OF LAW
Oleh: Syam Alam

Sebenarnya sederhana saja. Saat kita hendak membangun supreme of law atau supremasi hukum, maka tegakkan saja hukum tanpa pandang bulu. Namun hal yang sederhana ini sekarang dibuat berbelit belit hanya lantaran banyak oknum penegak hukum masih memandang “panjang pendeknya tebal tipisnya” bulu orang orang yang bermasalah dengan hukum.

Memang, kita sering mendengar bahwa supremasi hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Setidaknya, ada semangat penegakan hukum yang masih membara. Namun yang menjadi ironi, ketika hukum itu kemudian berkenaan dengan dirinya, keluarga atau kroninya, maka banyak oknum penegak hukum dinegeri ini berkelit dan mengumbar pernyataan “pembenaran” yang menyesatkan. Bahkan, kebohongan publik sering dilontarkan.

Jadi, ada semacam dualisme sikap. Disatu sisi oknum penegak hukum ini mengajak, “Mari kita tegakkan supremasi hukum dinegeri ini.” Namun, bila itu kemudian menyangkut kepentingan bahkan isi perutnya, dia akan berkata, “Eh ... nanti dulu.” Maka dibuatlah skenario dimana penyelesaian hukumnya menjadi abu abu, tidak jelas mana hitam mana putihnya. Ini tentu sungguh sesat dan menyesatkan. Sebab, manalah mungkin kita berharap air dihilir jernih bila air dihulu sudah tercemar?!.

Ada sebuah kisah manis tentang bagaimana seharusnya supremasi hukum ditegakkan. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW dikunjungi seorang sahabatnya. Sahabat ini memohon dengan sangat agar Nabi membebaskan kerabatnya yang berbuat kejahatan. Lalu bagaimana jawaban Nabi?. Dengan tegas beliau mengatakan, “Seandainya anak perempuanku sendiri - yaitu Fatimah Azz Zahra - mencuri,maka niscaya dia akan tetap kupotong tangannya.”

Selasa, 13 Januari 2009

KORUPSI ITU SEPERTI BOLA SALJU.
SEKALI SAJA MENGGELINDING,
MAKA AKAN BERTAMBAH BESAR.


Charles Caleb Colton (1780 - 1832), penulis Inggris

Senin, 12 Januari 2009


BAGI KAUMKU

Dunia yang tewas dipangkuan ini,
adalah milik kita

Yang poulas menggeliat dalam asap
tersakiti racun dinina bobo mambang

Karena kita sudah tak berurat berakar
untuk masuk gelanggang
lalu berlaga

Sedang diluar anak anak kita hidup menggelandang
Dengan tali yang diikat dari rambut matahari
mereka mencoba naik
dan ngintipi anak sekolah

Tidurlah kaumku,
tidurlah pada perut yang nyeri
Ditelapak padang kita bertakbir
membangunkan saudara saudara kita yang mati
Lapar ini tak lagi bisa berdalih

Tidurlah kaumku,
tidurlah dipinggir plaza
Walau betapa semarak mereka ciptakan surga
tahta, cincin dan anting anting imitasi





REFORMASI SEPANJANG MASA

Oleh: Syam Alam

Tidak bisa dipungkiri, reformasi yang digulirkan pada 1998 lalu untuk meruntuhkan tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, telah mengalirkan semangat untuk menjadikan Indonesia lebih demokratis.

Namun, reformasi pada akhirnya juga telah membidani lahirnya banyak pemimpin dan petualang politik, sebagaimana disisi lain juga menghasilkan banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Kita tengok saja. Setelah reformasi bergulir, toh rakyat kecil masih hidup susah. Belum lagi begitu banyak tragedi kehidupan anak bangsa yang kemudian hanya tercampakkan begitu saja diemperan tanpa pernah disentuh oleh kebijakan yang berpihak. Pemimpin yang dulunya mengaku reformis,tak jua mampu mencari solusi bagi rakyat kecil lantaran beradu kepentingan dengan kekuasaan.

Yang partut disesalkan ketika reformasi hanya dirancang untuk sebuah tujuan sesaat dimana “gincu” nya menina bobokan rakyat sesaat pula. Rakyat hanya dijadikan komoditas politik belaka.

Padahal, hakekatnya reformasi akan terus menjadi tuntutan selama ketidakmapanan masih dirasakan rakyat. Ketika rakyat kecil masih merasakan ketidakadilan, hidup dalam ranah politik yang carut marut, terampas daya belinya serta teronggok karena kesulitan ekonomi, maka semangat reformasi akan terus berkumandang.

Senyatanya, reformasi bukanlah jubah yang bisa ditanggalkan kapan kita mau. Bukan pula pemanis rupa yang bisa kita hapus bila sudah tak terpakai. Sebab, reformasi adalah sebuah perjuangan mulia yang tidak akan pernah usai bila ketidakmapanan masih bertahta dengan angkuhnya.

Reformasi bila diperjuangkan dengan tulus, dia akan bermetamorfosa menjadi nafas bagi cita cita kehidupan yang lebih baik. Reformasi juga bukanlah sandiwara murahan yang hanya kita mainkan berdasarkan pesanan kepentingan. Sebab reformasi adalah jiwa. Karena terlahir untuk peka terhadap derita rakyat, dia akan terus “bernyanyi” sepanjang aliran air mata. Sepanjang masa ...

Jumat, 09 Januari 2009

MEMBANGUN BANGSA

Oleh: Syam Alam

Dialam demokrasi, keberadaan partai politik adalah soko gurunya. Dari keberadaan partai politik inilah diharapkan pondasi sebuah bangsa dapat dibangun lebih kokoh. Meskipun tidak jarang dalam perjalanannya partai politik lebih mementingkan kepentingan partainya ketimbang kepentingan bangsa.

Banyaknya partai politik di Indonesia, sejatinya diharapkan menjadi perekat kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya menjadi pemecah kesatuan bangsa. Runyam jadinya, bila kemudian partai politik bisanya hanya berpindah pindah ideologi, sementara ideologi bangsa terlupakan. Begitu pula, partai politik harusnya tidak dibangun untuk kepentingan sesaat, karena partai politik punya tanggung jawab moral membangun bangsa yang majemuk ini.

Ketika kemudian partai politik gagal dalam membangun partainya sendiri, maka tentu saja rakyat akan bertanya tanya, bagaimana mungkin partai politik dapat membangun bangsanya?. Kenyataannya, sudah biasa kita menyaksikan para politisi tidak mampu berkoordinasi, berdiskusi dengan sehat bahkan saling bertemu untuk memecahkan persoalan partainya sendiri. Padahal, dalam masyarakat kita yang majemuk dengan ikatan tradisi, agama serta nilai nilai moderatnya ini, partai politik juga dituntut membangun ideologi bangsa.

Namun sayang seribu sayang, kita masih menyaksikan sepak terjang partai politik yang masih belum sepenuhnya memahami peran mereka dalam membangun bangsa. Tumbangnya beberapa pemerintahan dinegeri kita juga tidak luput dari besarnya tekanan partai partai politik dalam perannya sebagai oposan. Akhirnya, kita menyaksikan beberapa pemerintahan ambruk ditengah jalan. Pada gilirannya, keadaan seperti ini membuat persoalan bangsa menjadi tidak terselesaikan dengan tuntas seiring terpenggalnya sebuah pemerintahan dengan cara yang menyakitkan.

Kita memang harus mengakui, meskipun kita pernah bergonti ganti sistem politik - mulai dari Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasila - namun belum ada satu pun sistem politik yang dihasilkan oleh partai politik atau pemimpin negeri ini yang berhasil merangkaikan seluruh rakyat Indonesia.

Inilah kenyataan yang tidak hanya harus dipahami oleh para pemimpin dan partai politik dinegeri ini, namun juga oleh kita semua sebagai bagian dari kesatuan bangsa yang besar. Agar kita bisa memahami demokrasi secara utuh dan tidak terpotong potong.


Kamis, 01 Januari 2009

Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.