Senin, 27 Juli 2009

ETIKA BERUNJUK RASA


Menyampaikan aspirasi, ketidak puasan bahkan penolakan merupakan hal yang biasa disebuah negara yang berdaulat. Dalam skala yang lebih besar dan menyangkut keberadaan massa, kita mengenalnya sebagai aksi demo atau unjuk rasa. Ada yang berkenaan dengan masalah buruh, tuntutan kenaikan upah, ketidakadilan dan sebagainya. Unjuk rasa atau aksi demo saat ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk menuntut adanya perubahan politik dan merupakan salah satu bagian dari hak warga negara untuk menyalurkan aspirasinya.

Yang menjadi persoalan, sejauh mana unjuk rasa yang dilakukan elemen masyarakat ini berada dalam koridor aturan yang ditentukan, etika serta tidak mengganggu hak warga negara yang tidak ikut berunjuk rasa. Hal ini perlu dilontarkan sebab tidak jarang unjuk rasa mengakibatkan masyarakat merasa tidak nyaman bahkan tidak aman. Apalagi, bila unjuk rasa kemudian diakhiri dengan kerusuhan dan aksi destruktif lainnya yang mengakibatkan adanya korban jiwa.

Karena itulah etika dalam berunjuk rasa perlu ditanamkan dan kemudian dijalankan oleh semua komponen masyarakat. Sebab dikala kita ingin suara hati kita didengar oleh pihak lain, dilain pihak kita juga harus menghormati hak warga lain untuk tidak terganggu aktifitas dan keamanannya.

Maka sungguh menyejukkan ketika massa melakukan aksi turun kejalan namun aktifitas masyarakat berjalan sebagaimana biasanya meskipun mereka paling tidak harus menerima kenyataan bila lalu lintas menjadi terganggu. Tapi selebihnya mereka tetap merasa nyaman dan aman dijalan. Kaum ibu tetap enjoy berbelanja kepasar, karyawan tetap bisa masuk kerja dan anak sekolah tidak harus jalan kaki karena angkutan kota tidak berani beroperasi.

Kita tentu saja bisa menerima adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan secara beretika. Bagaimanapun juga itu adalah hak warga negara untuk menyalurkan aspirasinya bila lembaga resmi sudah dirasa tidak lagi bisa diandalkan. Namun, sebagian masyarakat lain pasti ingin dihormati pula haknya untuk menjalankan aktifitasnya secara normal. (Syam Alam)

MEMAKNAI KEMERDEKAAN


Satu hal yang tak terbantahkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diraih berkat perjuangan gigih yang tak mengenal lelah dan bukannya atas kemurahan hati atau hadiah dari bangsa lain. Darah yang membasahi pertiwi, genangan air mata serta niat tulus tanpa pamrih para pejuang bangsa akhirnya membuahkan hasilnya, sebuah kemerdekaan yang kita nikmati hingga kini.

Namun, adalah juga tak terbantahkan bahwa masih banyak saudara saudara kita yang hingga kini belum merasakan sepenuhnya manisnya kemerdekaan. Hak hidup mereka masih tergadaikan, kebebasan berpendapat mereka masih dikebiri dan terlebih lagi masih begitu banyak rakyat Indonesia yang hidupnya berada dibawah garis kemiskinan.

Kemiskinan struktural telah terjadi dimana mana dan kita sepakat menjadikan kemiskinan itu sebagai common enemy. Namun sayang, hingga kini keberpihakan kita kepada kaum miskin masih setengah hati. Ibaratnya, kita membicarakan kemiskinan dan kelaparan sementara mulut kita sibuk mengunyah sambil mengitari meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Empati kita yang tidak diikuti oleh sebuah tindakan nyata hanya akan memperparah rasa sakit hati rakyat miskin. Nah, untuk rakyat miskin inilah masihkah kita mau mengatakan bahwa mereka juga ikut menikmati kemerdekaan?.

Secara fisik jelas kita memang sudah tidak mengalami penjajahan oleh bangsa lain. Namun ternyata bentuk penindasan yang lain masih berlangsung. Rakyat yang dibodohi, rakyat yang hidupnya diperbudak, rakyat yang hanya dijadikan obyek eksploitasi, rakyat yang diperjual belikan sebagai pelacur, rakyat yang dipasung hak hidupnya bahkan rakyat yang tidak dibela dimata hukum, bukankah mereka adalah rakyat yang terjajah?. Pertanyaan selanjutnya, adilkah ketika kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian rakyat saja sementara yang lain gigit jari dalam hidup yang terlunta lunta dinegerinya sendiri?.

Ketika para pahlawan bangsa berdarah darah memperjuangkan kemerdekaan, mereka pastilah tidak sudi mempersembahkan kemerdekaan hanya untuk sebagian rakyat Indonesia saja. Mereka berjuang tulus untuk semua saudara sebangsa setanah air. Berkorban apapun telah mereka lakukan hanya agar tidak ada lagi penindasan dibumi pertiwi. Coba bandingkan dengan kita yang masih sering berjuang untuk diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan dan kroni kroni. (Syam Alam)

Minggu, 26 Juli 2009

ANAK MASA DEPAN


Anak anak bangsa adalah aset dimasa depan. Pada mereka kita mengharapkan adanya sebuah generasi yang lebih baik, lebih bermartabat dan lebih jujur pada sejarah. Karena itulah, adalah juga tanggung jawab kita untuk mempersiapkan anak anak agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan berani menatap kehidupan.

Namun yang harus dipahami, betapa anak anak butuh ‘ruang bermain’ yang dapat
mengantarkan mereka tumbuh sebagaimana mestinya. Sementara yang sering kita saksikan anak anak tak jarang kehilangan ruang untuk bermain sesuai usia dan tingkat pemahamannya. Mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas teknologi serta kecanggihan tontonan dan komunikasi. Dalam posisi seperti ini mereka sering menjadi tidak terlindungi dari informasi yang menyesatkan. Hasilnya, begitu banyak kejahatan yang dilakukan anak anak hanya karena mereka terinspirasi untuk meng copy paste tontonan kekerasan dan sejenisnya yang meruyak tak kenal waktu.

Sementara disisi lain, anak anak juga sering termarjinalkan sebagai obyek dari ambisi orang tua yang tidak terkendali. Mereka bahkan tidak punya hak untuk menikmati masa kanak kanak mereka. Boro boro bisa menikmati pendidikan, untuk berpikir bermain pun mereka terpasung. Kita bahkan telah merampas tawa dan keceriaan mereka. Mereka terlempar hidup sebagai buruh kasar, terhempas dijalanan bahkan diperjual belikan hak hidupnya. Nyaris tanpa perlindungan.

Dan ketika kekerasan sering mereka terima, hal ini bukannya menumbuhkan sikap bertanggung jawab pada kehidupannya, sebab sebaliknya anak anak kemudian menjadi terbiasa dengan kekerasan dan celakanya kemudian menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.

Maka sudah saatnya kita bangunkan kembali nurani kita agar lebih mampu memahami hakikat perilaku dan dunia anak anak. Bukankah kita dulu juga tumbuh sebagai anak anak sebelum kemudian dewasa dan uzur?. Bukankah kita dulu senang bila ‘ruang bermain’ kita diberikan dengan sepenuhnya tanpa dikebiri dan dimanipulasi?.

Sejatinya, itulah yang juga diinginkan oleh anak anak masa kini.
Dalam istilah Kahlil Gibran, kita ini hanyalah busur belaka ketika anak anak menjadi anak panahnya. Dan semestinya kita bisa menjadi busur yang mantap. Sebab hanya dalam rentangan busur yang mantap inilah kemudian anak panah melesat jauh menemui sasaran. Menuju masa depannya. (Syam Alam)

Jumat, 24 Juli 2009

AIR KITA SEMUA


Air bagi anda mungkin tidak istimewa. Setiap pagi, bangun tidur anda kekamar mandi dan membersihkan diri sepuasnya. Anda menggunakan air yang melimpah sehingga tumpah dimana mana. Sementara sopir anda juga sibuk memandikan mobil kesayangan anda. Dia menggunakan slang, air lalu ngocor dengan derasnya dan tumpah kemana mana. Setelah itu, tukang kebun mulai menyirami tanaman dihalaman yang luas juga dengan slang. Air memercik kemana mana, tumpah kemana mana.

Pagi itu pembantu anda pun sudah bangun dan dia mulai mencuci alat alat dapur yang kotor lalu mencuci pakaian keluarga anda. Lalu semua anggota keluarga anda pun pagi itu juga menggunakan air untuk keperluannya. Semuanya. Mereka kadang menyiram kloset atau lantai kamar mandi dengan air yang berlebihan. Kadang ada juga yang lupa menutup kran air hingga air tumpah kemana mana.

Begitulah seterusnya dilakukan dari pagi, siang, sore, malam hingga kepagi lagi. Lagi dan lagi, sementara kita tidak pernah mau berpikir bahwa air yang kita gunakan suatu saat akan berhenti ngocor karena habis dieksploitasi secara masif. Saking dianggap biasa kita jadi tidak peduli bila air kemudian tumpah kemana mana. Orang sering berpikir picik,”La wong air airku sendiri kok , mau tak pake seenaknya ya itu urusanku!”. Hah?!. Airnya sendiri?!.

Dunia saat ini diancam oleh krisis air bersih. Bukan semata mata karena pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat atau terganggunya keseimbangan ekosistem, namun juga karena penggunaan dan pemanfaatan air yang berlebihan dan tidak benar. Sudah saatnya kita memperlakukan air sebagai bahan bernilai yang dimanfaatkan secara bijak dan dijaga kelangsungannya.

Anehnya, dibalik sikap semena mena kita dalam mengekploitasi air, disisi lain kita justeru menyadari bahwa air merupakan sumber utama kehidupan. Kita menyadari tak dapat bertahan hidup tanpa air. Tapi ketika kita dihadapkan pada pemanfaatan air bagi kepentingan pribadi, kita pun berpikir parsial bahwa itu urusan kita sendiri dan kita cenderung menjadi tamak. Padahal, air dimuka bumi ini juga milik kita yang harus dijaga secara bersama sama pula. Karena yakinlah, kerusakan alam dibagian bumi yang lain akhirnya juga berdampak sampai kehalaman rumah kita.

Maka sudah saatnya kita mulai menghargai air dengan melakukan pemanfaatan sumber daya ini dengan baik dan benar. Banyak hal yang bisa lakukan untuk menghargai air. Tentu saja dimulai dari diri kita hingga keseluruh anggota keluarga. Hal ini dimulai dari tahap memberikan pemahaman, mengajarkan hingga dilaksanakan dalam perilaku semua anggota keluarga.

Biasanya kita sering meremehkan tahapan seperti ini. Padahal inilah langkah awal dalam mewariskan perilaku arif memanfaatkan air kesemua anggota keluarga. Pengajaran dan perilaku aktif kita pada akhirnya akan terus dilakukan semua anggota keluarga. Pada gilirannya kita harapkan perilaku seperti itu juga akan diwariskan kegenerasi berikutnya. Jadi jelas ini bukan masalah remeh temeh tapi justeru awal yang krusial yang sering dilupakan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai langkah awal menanamkan perilaku bijak memanfaatkan air pada keluarga?. Jelas yang pertama adalah memberikan pemahaman yang ajeg bahwa air adalah sumber kehidupan. Kita bisa menyisipkan materi pembicaraan tentang air dalam setiap kesempatan berkumpul bersama keluarga. Dari pemahaman yang sama inilah akhirnya semua anggota keluarga akan memiliki perilaku bijak yang sama pula. Bayangkan, bila ini dilakukan oleh semua keluarga dinegeri ini bahkan dunia. Mimpikah ini?. Boleh jadi mimpi. Tapi akan lebih tepat kalau ini disebut sebagai harapan.

Lalu bagaimana perilaku kita sehari hari dalam memanfaatkan air agar hemat, bermanfaat dan tidak mubazir?. Contoh sederhana adalah mematikan kran air saat menggosok gigi, memanfaatkan air bekas mencuci beras, sayur dan buah untuk menyiram tanaman, menggunakan ember saat mencuci mobil dan bukan slang karena akan sangat boros sekali. Yang tak kalah pentingnya adalah tidak membiarkan kran yang bocor karena walau setetes demi setes bila dibiarkan dapat membuang air hingga 13 liter perhari. Masih banyak yang bisa kita lakukan agar penggunaan air benar benar tepat, hemat dan bermanfaat.

Karena air merupakan sumber kehidupan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sudah waktunya kita bersikap arif dalam mengkonsumsi air. Memang benar air adalah sumber kehidupan sehingga tanpa air maka kehidupan akan mustahil.(Syam Alam)

Rabu, 01 Juli 2009

RAKYAT BUKAN KUDA BEBAN


Saat ini terasa sekali nama ‘rakyat’ dikumandangkan dimana mana. Dari panggung kepanggung, juga diberbagai media massa cetak dan elektronik - bahkan didunia maya sekalipun - nama rakyat diagung agungkan sebagai pertaruhan dari sebuah perjuangan mulia seorang pemimpin ( dan bakal pemimpin tentunya).

Dengan mengepalkan jemari tangannya, banyak politisi yang mendadak ‘sangat mencintai’ rakyatnya sampai harus berteriak dengan nada tinggi, “Rakyat harus dibela!”. Dan seterusnya, sehingga rakyat demikian tersanjung. Betapa nama mereka demikian mendapat tempat dihati pemimpinnya.

Seharusnya, tanpa ada pertaruhan dan ‘pementasan’ dipanggung pun, rakyat tetap harus dibela termasuk dibela haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak, kemakmuran yang diidamkan serta dibela haknya dimata hukum. Pendek kata, rakyat tidak boleh termarjinalkan oleh ambisi meraih kekuasaan. Mau ada pemilu atau tidak, rakyat tidak boleh menjadi komoditas politik yang kemudian dilupakan.

Bila saat pemilu menjelang kemudian banyak pemimpin yang ‘berbaik hati’ memposisikan diri sebagai ‘pelayan rakyat’, seharusnya semangat menjadi ‘pelayan’ itu terus bersemi. Yang harus dipahami, pemimpin adalah juga entrepreneur politik. Artinya, mereka adalah aktor yang siap dengan gagasan cerdas, memperjuangkannya dan lalu siap pula menanggung risiko ditentang oleh oligarki kepentingan yang kuat. Bagi mereka rakyat bukan deretan angka yang dibutuhkan untuk meraih kekuasaan. Bagi mereka rakyat justeru memiliki bargaining position yang tinggi untuk diperjuangkan segala hak hidupnya.

Seorang ulama besar, Salim bin Abdullah pernah memberi nasihat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Wahai khalifah, jadikanlah seluruh rakyat sebagai ayah, saudara dan anakmu. Berbaktilah kepada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan saudara saudaramu dan sayangilah anakmu.”

Mungkin terlalu mengawang awang bila kita mengharapkan pemimpin negeri ini memperlakukan rakyat sebagaimana yang dinasihatkan Salim bin Abdullah. Setidaknya, cukuplah pemimpin kita tidak mencederai janji janji manisnya disaat dia menjadikan rakyat sebagai deretan angka untuk meraih kekuasaan.

Mereka tidak perlu (dan mungkin juga mustahil) berlaku bagai khalifah Umar bin Khattab yang rela memanggul gandum dipundaknya untuk diserahkan kepada rakyatnya yang kelaparan. Bagi rakyat negeri ini, cukuplah para pemimpinnya mencintai mereka sebagaimana perlakuan manis dan mesranya dikala masa kampanye berlangsung.

Bahkan mungkin saja mereka (baca: rakyat) tidak begitu mengharapkan pemimpinnya berlaku sebagai ‘pelayan’ yang peka menyuarakan keinginan ‘sang majikan’. Dinegeri ini rakyat sudah banyak menelan rasa kecewa dan sakit hati lantaran kerap disuguhi janji politik yang kemudian diingkari. Senyatanya mereka adalah pemilik negeri ini sehingga sungguh tak pantas kita memperlakukan mereka hanya sebagai kuda beban yang ditunggangi untuk dikorbankan. (Syam Alam)

Jumat, 15 Mei 2009


MENGGADAIKAN INTEGRITAS JABATAN

Sudah dianggap biasa pejabat publik menerima berbagai upeti dimasa jabatannya. Berbalut kata “hadiah” upeti ini kemudian dibudayakan sebagai upaya menjalin “saling pengertian” antara pejabat publik dengan pihak pihak yang ingin memanfaatkan kekuasaan sang pejabat. Karena itulah jangan kaget bila anda sering mendapatkan kabar bahwa banyak pejabat publik kita yang memiliki banyak rumah megah, berderet mobil mewah atau tanah yang terhampar dimana mana. Padahal bila menghitung dari gaji dan berbagai tunjangannya saja, mustahil semua itu mereka dapatkan.

Sebenarnya bukan semata mata soal upeti itu saja yang menjadi masalah. Yang paling mengkhawatirkan justeru adalah imbas dari pemberian upeti tersebut terhadap berbagai keputusan (baca: kebijakan) yang akan ditempuh sang pejabat. Mudah ditebak. Dipastikan pejabat ini nantinya akan menempuh keputusan yang menguntungkan atau melindungi kepentingan sang pemberi upeti. Apalagi pejabat itu memang bermental aji mumpung. Mumpung masih menjabat maka yang ada dibenaknya adalah bagaimana memaksimalkan keuntungan dari kekuasaannya. Jelas bukan untuk rakyat yang harusnya dibela kepentingannya, namun bagi isi perut, kepentingan keluarga atau kroni kroninya. Dalam benaknya hanya terpikir, “Kapan lagi toh bisa begini?.”

Entahlah, tiba tiba saja saya menerawang jauh dan ditelinga saya terngiang kata kata yang sulit saya lupakan yang terluncur dari bibir alharhum mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Begini katanya, “Jika saudara kebetulan pejabat tinggi dan membuat pesta pernikahan anak saudara, maka lihatlah niscaya tidak terhingga orang orang yang berkepentingan datang tanpa diminta mengulurkan bantuan dan sumbangannya. Sekali saudara menerima sumbangan itu, berarti saudara telah menggadaikan integritas jabatan dan pribadi saudara.” (Syam Alam)


SARIBAN NAMANYA ...

Sariban namanya. Dia sudah tidak muda lagi. Rambut putihnya menyembul dibalik topi caping yang selalu dikenakannya. Walau usianya sudah beranjak 66 tahun namun nafasnya masih panjang dan suaranya lantang. Dengan sepeda tuanya – yang disana sini dilengkapi alat alat kebersihan - dia tak pernah menyerah untuk terus berkeliling kota Bandung memunguti sampah yang berserakan, mencabuti paku paku dipepohonan atau menyapu jalan yang dirasa masih kotor. Disengat panas matahari otot otot tangannya tampak berkilat. Untuk ukuran orang seusianya, aktifitas yang dilakukan Sariban sungguh berat. Tapi dia tak hirau dengan semua keterbatasannya itu. Seakan tak ingin berkompromi dengan tubuh kecilnya yang telah beranjak senja.

Sariban namanya. Pensiunan karyawan Rumah Sakit Mata Cicendo ini mungkin bukan siapa siapa. Apalagi buat anda yang dulu terlanjur meneriakinya sebagai orang gila. Yah, Sariban memang pernah dianggap kurang waras, sinting atau setidaknya dianggap sebagai "nu gelo anyar" (orang yang baru gila).

Sariban namanya. Dia bertutur tentang berton lebih paku yang dikumpulkan dirumahnya. Bukan paku yang dia beli dari toko material untuk membangun rumah. Bukan. Tumpukan berton paku itu tadinya tertancap dipepohonan diseantero Bandung. Sariban tak tega. Makanya tangan kecilnya rajin mencabuti paku paku tadi dari pohon pohon dikota Bandung. Katanya, "Pohon pohon itu kalau bisa ngomong, pasti akan berteriak kesakitan dipaku sana sini."

Sariban namanya. Dia tidak mengharapkan bayaran kita. Tulus dia kayuh sepeda tuanya mengitari kota Bandung hanya untuk mengabdi pada komitmen yang dia paku dalam hatinya. Sebuah cita cita luhur untuk menjaga lingkungan hidup agar terus bersahabat, bersih, hijau dan berbunga. Sariban meyakini antara lingkungan hidup dengan manusia dulunya telah terjalin sebuah interaksi yang utuh. Untuk itu lingkungan hidup rela dimanfaatkan untuk menopang segala kebutuhan hidup manusia. Namun kini manusia telah melampaui batas maksimal pemanfaatan tersebut. Yang terjadi saat ini adalah penzoliman manusia atas lingkungan hidupnya. Sariban mengelus dada. “Sungguh ironis,” katanya. Maka akibatnya telah ditanggung manusia. Planet yang bernama bumi ini kini terasa semakin garing, panas dan kurang bersabat.

Sariban namanya. Dia kembali mengelus dada. Atmosfer yang semakin menipis, ketersediaan air yang semakin terkikis dan pepohonan yang semakin tergerus kegilaan jaman, adalah potret yang ingin dia sampaikan kepada kita.

Sariban namanya. Sungguh jangan remehkan apa yang tlah dia buat. Dia mungkin bukan siapa siapa. Tapi bila ada berjuta orang yang memiliki tekad seperti yang dia punya, kita tak perlu teriak soal global warming dan berbagai krisis lingkungan hidup lainnya.

Sariban namanya. Dia masih rajin memunguti berserak sampah yang mungkin tadinya kita buang dari balik jendela mobil. Tangannya yang berkilat diterpa panas matahari mengajarkan kita agar membuang sampah pada tempatnya. Sederhana memang. Tapi dari hal yang sederhana itu banyak orang yang kemudian terlihat menjadi seakan tidak beradab. Karena dengan semena mena telah menyakiti lingkungan hidupnya sendiri. (Syam Alam)

Minggu, 22 Maret 2009


DEMI SEBUAH KURSI

Oleh: Syam Alam

Kursi sudah lama menjadi bagian dari keseharian hidup manusia. Bahkan bagi manusia modern, kursi sangatlah penting keberadaannya. Dikantor atau dimana pun kita berada, selalu mencari kursi yang paling nyaman untuk diduduki. Ditempat kerja, anda pasti akan merasa senang bila mendapat kursi yang bisa berputar putar, memiliki kaki yang beroda, apalagi sandarannya bisa pula direbahkan kebelakang. Ada anggapan bahwa dengan kursi yang ergonomis ini kita dapat bekerja berjam jam lamanya tanpa merasa lelah.

Terlepas dari enak dan tidaknya kursi, yang pasti kursi tetap dicari. Dalam posisi dikereta api yang penuh sesak pun misalnya - sehingga mengharuskan penumpangnya berdiri - keberadaan kursi kecil, keras dan tak nyaman pun jadi rebutan. Itulah kursi, mau enak atau tidak dikala diperlukan dia menjadi barang yang istimewa.

Kini, semakin banyak orang mencari kursi. Bukan kursi sembarang kursi tentunya. Dikala masa pemilu digulirkan, seorang calon legislatif harus rela merogoh koceknya dalam dalam hanya untuk mencari sebuah kursi. Kisarannya bisa mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah. Tak cukup disitu. Dia pun harus nampang dimana mana. Baliho, poster, stiker, leaflet, kaos dan spanduk bahkan sampai kaca film diangkutan kota bergambar diri dan janji janji politiknya disebarkan dengan biaya yang tidak sedikit.

Lagi lagi, tak cukup disitu. Dia pun dituntut untuk beriklan dimedia massa cetak, elektronik bahkan sampai kemedia on line. Memang tidak semua calon legislatif mampu meraih semua cara beriklan seperti itu, sebab semuanya sangat tergantung pada tebal dan tipisnya kantong. Bagi calon legislatif yang berkantong cekak, nampang dipohon pohon, tembok rumah orang atau dipintu angkutan kota, mungkin sudah dirasa cukup.

Beragam motivasi orang untuk berbondong antri menjadi calon legislatif. Ada yang karena mengaku panggilan jiwa sebagai kader sebuah partai politik. Ada yang ingin mencoba mewakili rakyat karena merasa punya kemampuan untuk itu. Ada yang sudah tidak tahu bagaimana caranya lagi mengaktualisasikan diri. Ada yang mencoba peruntungan baru. Celakanya, ada juga yang berambisi menjadi kaya raya dengan cara ini. Masih banyak lagi motivasi orang menjadi calon legislatif. Sehingga tidak aneh bila calon legislatif berasal dari berbagai lapisan masyarakat, hingga seorang pedagang bakso pun punya nyali ikut dalam “audisi” ini. Semuanya demi sebuah kursi ...

Tapi kursi tetaplah kursi. Anda jangan lama lama duduk disana. Selain, karena bisa menyebabkan anda menjadi gemuk - bagi yang belum – duduk terlalu lama dikursi dapat merusak organ tubuh kita. Hal itu telah diingatkan ilmu pengobatan klasik Cina yang dikenal dengan Huang Di Nei Jing, 2000 yang lalu. Dari sisi yang lain, anda tidak bisa terlalu lama duduk dikursi karena sebagai wakil rakyat – bila terpilih – anda harus terus bergerak menyerap aspirasi dan kegundahan masyarakat. Dan itu pasti tidak dapat anda lakukan bila hanya duduk terpaku dikursi dan mengandalkan laporan dari staf anda.

Biarpun sangat dibutuhkan, anda tetap harus hati hati dengan yang namanya kursi. Setidaknya anda harus bijak dalam memperlakukannya. Kursi yang nyaman – dengan berbagai keunggulannya – bisa bisa hanya menjadikan anda malas untuk bergerak. Pada akhirnya, kursi yang nyaman memanjakan kita. Cukup dengan mendorong kursi dengan kaki, kita sudah bisa menjangkau atau mengambil sesuatu. Untuk berdiri, jelas malas rasanya. Bukan itu saja. Saking enaknya duduk dikursi, sampai sampai kita bisa tertidur diatasnya dengan merebahkan sandarannya. Sepintas mengasyikan memang.

Semestinya, kursi yang nyaman hanya dipergunakan seperlunya saja. Bagi anggota dewan yang dituntut mobilitasnya untuk memperjuangkan suara rakyat, jelas mereka tidak bisa melakukannya bila hanya duduk ongkang kaki dikursinya yang empuk.

Yang harus dipahami, menjadi wakil rakyat selain memangku amanah yang berat, juga tidak mudah menjalaninya. Bayangkan saja, hanya untuk mendapatkan informasi yang akurat dari konstituennya saja, mereka harus banyak melakukan perjalanan melelahkan disela sela kesibukannya rapat dilingkungan dewan. Itulah yang mestinya dilakukan bila mereka ingin bekerja sepenuh hati dan sesuai janji. Melelahkan memang. Tapi itulah sejatinya sebuah pilihan. Pilihan untuk ingin dan mau dipilih sebagai wakil rakyat.

Selasa, 17 Maret 2009


Facebook Kita:

Sebuah Rekreasi Realitas?

Oleh: Syam Alam

“Facebook membantu anda berhubungan dan berbagi dengan orang orang dalam kehidupan anda“. Itulah kalimat pembuka yang saya jumpai dikala saya masuk kehalaman muka jejaring pertemanan dunia maya, Facebook.com.

Memang terasa mengasyikan setelah saya sukses membuat akun atas nama saya disana. Diera cyber saat ini menjadi amat mudah untuk mencari teman dari “dunia lain“ yang sebelumnya tidak kita kenal siapa jati dirinya. Memang ada pula teman teman lama yang ikut terjaring dalam jejaring pertemanan dunia maya ini. Kalimat kalimat seperti, “Eh, elu disini juga ya, ikut mejeng juga nih ye, hai kemana aja aduuhh senengnya bisa ketemu,” dan seterusnya, adalah sapaan yang biasa kita jumpai ketika “bertemu“ teman lama. Asyik memang ...

Maka mulailah Facebook “menghubungkan“ saya dengan sebuah dunia yang lain. Saya pun bisa “bersilaturahmi“ dengan kawan kawan lama yang bertahun tahun tidak bertemu. Walhasil, Facebook telah mampu memperpendek jarak antara kita. Luar biasa. Tak terpikirkan oleh saya - bahkan ketika Mark Zuckerberg mengembangkan Facebook pada Februari 2004 dari ruang kamarnya di Harvard - bahwa saya bisa menemukan “dunia lain” diluar realitas kehidupan sosial saya. Sebuah dunia dimana kita bisa berkontemplasi dengan masa lalu dan menjangkau masa kini.

Kita kemudian bisa saling merasakan keadaan masing masing. Keluh kesah, semangat, harapan bahkan imajinasi pun bisa saling kita komentari. Laiknya sebuah tatanan sosial, para penghuni Facebook pun bisa saling berkunjung, menanyakan kabar atau sekedar – maaf – mengunggah foto foto narsisnya. Sesuatu yang juga saya lakukan..

Ketika saya menulis kolom ini, jangan artikan saya ada diluar dunia anda. Saya adalah juga anda, sama sama penghuni Facebook. Kita sama sama “bertetangga” dan bukan masalah kan, kalau saya mencoba untuk mempertanyakan dunia yang melingkupi kita ini. Sebagaimana kita sering bertanya, mengapa rutinitas perkotaan membangunkan kita sebuah dunia yang serba hedonis.

Sekali lagi, saya sama seperti anda. Sama sama penghuni Facebook. Namun saya merasakan sebuah kegamangan – atau mungkin tepatnya ketakutan – bahwa apa yang kita lakukan ini hanya merupakan sebuah pelarian dari realitas sosial yang sengaja kita hindari.

Ketika seorang kawan mencoba mengaitkannya dengan filsafat metaforik dari Jean Baudrillard tentang sebuah kematian sosial, awalnya saya menolaknya. Saya pikir apa yang kita lakukan selama ini hanyalah sekedar lifestyle. Tak lebih. Namun ketika saya menemukan kegelisahan betapa saya ada disebuah dunia yang terisolasi dari realitas sosial, saya pun bertanya, jangan jangan memang benar saya tengah berada bahkan tertelan oleh sebuah model virtual society atau tatanan sosial semu yang terbentuk dari interaksi dan komunikasi yang bersifat artifisial.

Diera cyber seperti saat ini memang sulit bagi kita untuk menolak menjadi username di Facebook. Namun keniscayaan ini bukannya kemudian mematikan nalar kita untuk mengkritisi dunia kita yang baru ini. Barangkali adalah sebuah sikap yang bijak ketika kita mau menyisihkan waktu didunia maya ini, disisi lain kita masih memiliki gairah untuk menghidupkan realitas sosial dialam nyata. Artinya, kita tidak mau mentah mentah menelan semua ini hanya sebagai rekreasi realita belaka.

Maka, silahkan anda – dan juga saya tentunya – meneruskan keasyikan ini entah hanya sekedar memperbaiki status diwall, menulis puisi, membuat catatan harian, mengabarkan aktifitas atau mengunggah foto foto dan video yang ingin dibagikan. Namun disisi lain kita tetap menapakkan kaki kebumi untuk terus menjalankan aktifitas kehidupan sosial yang nyata. Dengan demikian kita tidak menyerahkan begitu saja kehidupan yang indah dalam fitrah Allah ini untuk diambil alih oleh kekuasaan media.

Sehingga, ketika kita asyik menjalin “kehidupan” didunia maya, kita masih getol untuk menyambangi teman, saudara atau tetangga disekitar kita walau hanya untuk sekedar menyapa, “Hai, bagaimana kabarnya, sehat sehat kan?!.” Sebagaimana yang sering kita tulis didinding teman teman kita, di Facebook.

Sabtu, 07 Maret 2009


Sang Pemecah Batu

Oleh: Syam Alam

Pernahkah anda - setidaknya - mengenal profesi pemecah batu?!. Batu batu yang menempel kuat sebagai pondasi rumah, taman atau dinding saluran air milik anda, tadinya adalah bongkahan batu besar. Saking besarnya, batu batu ini dibiarkan teronggok dipinggir kali atau dipegunungan. Lalu bagaimana caranya dia bisa tercerai berai dan menghiasi dinding rumah anda?. Lewat tangan dan kerja keras sang pemecah batulah, batu batu besar itu bisa diluluh lantakkan menjadi ukuran yang dikehendaki.

Kini perhatikan bagaimana sang pemecah batu melakukan pekerjaannya. Batu tadi berulang ulang dia coba pecahkan dengan palu godamnya. Berulang ulang, mungkin sampai beratus kali. Seperti tidak ada tanda tanda batu besar itu akan pecah berkeping keping. Seakan sia sia saja usaha sang pemecah batu untuk menaklukkan batu besar itu. Begitu seterusnya, hingga pada akhirnya, "Prrraaakkkk!!!." Dengan sekali hentakan kuat palu godam yang diayunkannya berhasil memecahkan batu besar itu.

Dari pecahan itulah kemudian dia dengan mudah memecahkannya kembali hingga menghasilkan beragam ukuran sesuai pesanan. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari usaha sang pemecah batu ini?!. Jawabannya adalah, sebuah usaha keras tak mengenal kata menyerah.

Walau pada awalnya tidak ada tanda tanda batu besar tadi akan pecah berkeping keping, namun sang pemecah batu tidak mengendurkan upayanya. Dia terus mengayunkan palu godamnya. Terus dan terus, berulang kali tanpa henti.

Pertanyannya, apakah batu besar tadi pecah lantaran hantaman palu godam yang diayunkan terakhir kali?!. Ternyata tidak. Hantaman palu godam yang terakhir kali hanya "menyempurnakan" kerja hantaman hantaman yang beratus kali sebelumnya. Ini hasil sebuah kerja yang berkesinambungan. Pecahnya batu adalah lantaran akumulasi hantaman palu godam yang diayunkan sang pemecah batu.

Mari kita mengkaji diri. Betapa banyaknya kesia siaan yang kita buat hanya lantaran kita tidak sabar untuk bertahan menjalankan usaha. Kita mudah putus asa lantaran kesal dan jenuh menunggu hasil kerja yang kita dambakan belum juga tampak batang hidungnya. Kita menjadi patah dan tidak tawajjuh untuk terus "menghantamkan palu godam" pada usaha kita.

Kita sering menjadi kurang sabar untuk berusaha lebih keras lagi. Butuh keajaiban sebuah usaha bakal sukses hanya dengan "sekali ayun". Sedangkan kita tidak bisa dibayang bayangi terus oleh sebuah miracle. Harusnya kita percaya pada sebuah usaha yang terukur dan terkonsep dalam keteraturan. Terus dan terus. Lagi dan lagi. Sebab, bukan tidak mungkin hanya perlu "sekali ayun" lagi kesuksesan bakal kita raih. Sehingga sangat disayangkan ketika sampai pada tahapan seperti itu kita sudah menyerah.

Sungguh, betapa banyak dari kita yang pada akhirnya hanya menjadi penonton dari kesuksesan orang lain. Kita memang bukan pemecah batu yang hidupnya termarjinalkan. Tapi kita jangan malu untuk meniru kerja kerasnya yang tak mengenal kata menyerah.

Kamis, 19 Februari 2009

Membangun Kembali

Kepercayaan Publik

Oleh: Syam Alam

Ditengah maraknya suap menyuap terhadap pejabat publik, harapan bagi terciptanya pencitraan terhadap lembaga negara masih belum memuai. Rakyat masih berharap suatu saat mereka memiliki para pemimpin yang benar benar amanah dan tidak mau disuap atau menyuap.

Reformasi bangsa ini memang masih terus diuji. Usia kemerdekaan yang terus bertambah bukanlah jaminan kita bisa mendapatkan sebuah generasi yang benar benar ingin melayani rakyat dan bukannya sebaliknya. Pemahaman terhadap prinsip prinsip luhur dalam berbangsa dan bernegara juga tidak sepenuhnya diserap.

Sehingga, bagaimana mau menjalankan sebuah amanah dengan baik bila prinsip yang paling hakiki dari integritas kekuasaan saja tidak dipahami. Bahwa hak atas kekuasaan yang diperoleh menjadi satu paket dengan kewajiban memakmurkan bangsa. Artinya, kekuasaan yang diperoleh inherent atau lekat dengan sebuah kewajiban luhur. Bahwa kekuasaan hanya sebagai sarana untuk melayani rakyat dan bukannya sebuah tujuan.

Celakanya, ketika yang dipahami adalah kekuasaan sebagai sebuah tujuan belaka, maka yang terjadi seperti yang sering kita saksikan saat ini. Untuk mencapai kekuasaan, banyak pejabat publik yang sampai harus menggelontorkan dana ratusan bahkan milyaran rupiah untuk mencari dukungan bahkan menyuap. Ironis memang. Ini terjadi ketika kita sedang mencoba untuk percaya bahwa reformasi pada gilirannya akan melahirkan para pemimpin yang tidak hanya berjiwa reformis tapi lebih dari itu ingin melayani rakyat.

Seharusnya bisa dipahami pula bahwa bila politik suap menyuap ini dibiarkan terus menjadi sesuatu yang lumrah, maka pada akhirnya akan menggerus integritas bangsa. Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah kembalinya kepercayaan publik bagi kelangsungan lembaga negara dan bangsa dimata internasional.

Sebagai bangsa yang terus menggodok kematangan dan kedewasaan generasinya, semua komponen yang ada didalamnya harus bahu membahu dalam membangun kembali kepercayaan publik yang sempat tercabik cabik.

Kiita sudah banyak membuang waktu dengan berkonflik yang seakan tiada hentinya. Kita juga sudah membuang waktu untuk tidak menyiapkan sebuah generasi yang bakal mewarisi semangat perjuangan para pendahulu negeri ini. Kita justru lebih sering membuang waktu hanya untuk melobi agar kekuasaan terus berlangsung dan bertambah. Tanpa menyadari bahwa untuk mengejar tujuan tersebut, ternyata harus mengorbankan begitu banyak peluang untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Menyiapkan TKI Profesional

Oleh: Syam Alam

Bagi sebagian rakyat Indonesia, bekerja diluar negeri merupakan sebuah tujuan. Mereka rela mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk modal menjadi Tenaga Kerja Indonesia atau TKI. Bahkan banyak diantaranya yang harus jatuh bangun mencari pinjaman atau menjual harta benda hanya agar mereka bisa terdaftar sebagai TKI. Banyak diantara mereka pula yang kemudian gigit jari lantaran tertipu oknum pengerah tenaga kerja.

Namun tidak semua orang berfikir bahwa bekerja diluar negeri sebagai TKI itu enak. Paling tidak, mereka memiliki keyakinan bahwa tidak selamanya bekerja dinegeri orang berlimpah uang dan kenyamanan. Bagaimanapun juga bekerja diluar negeri sangat beresiko bagi terjadinya kekerasan fisik yang mengarah pada penganiayaan. Penistaan terhadap nilai nilai kemanusiaan terhadap TKI khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) saat ini sering kita jumpai. Bahkan, yang pulang dengan peti mati pun sering terjadi.

Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa dari keringat dan perjuangan hidup para TKI ini, devisa banyak didatangkan. Direktur Pengembangan Kesempatan Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, M.Silalahi menjelaskan jumlah uang yang dikirim TKI diberbagai negara setiap tahunnya mencapai Rp.30 trilyun lebih. Luar biasa.

Jumlah kiriman itu terus meningkat seiring terus bertambahnya jumlah TKI yang bekerja diluar negeri. Bayangkan saja, setiap tahunnya tak kurang dari 700.000 orang berangkat keluar negeri menjadi TKI. Ditahun 2008 saja targetnya bahkan mencapai satu juta orang. Sebuah angka yang sangat besar bagi pengerahan tenaga kerja keluar negeri.

Dengan semakin besarnya jumlah TKI, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan perlindungan terhadap para pahlawan devisa ini. Disisi lain, pemerintah juga harus terus mendorong pengiriman tenaga kerja professional, seperti tenaga kerja dibidang teknik informatika, teknik mesin, tambang, perawat dan lain lain. Melihat peluang kerja dibidang profesional itu masih cukup besar, maka berbagai pelatihan juga harus terus digalang agar para TKI yang dikirim benar benar terlatih dan terdidik serta memiliki daya saing dengan tenaga kerja negara lain.

Kita masih prihatin, ternyata 70 persen TKI yang dikirim keluar negeri, semuanya bekerja disektor informal seperti menjadi pembantu rumah tangga atau sopir. Seharusnya angka ini bisa berkurang seiring semakin besarnya peran pemerintah menyiapkan tenaga kerja professional.

Kita berharap, semoga tidak ada lagi cerita TKI yang nasibnya terlunta lunta dinegeri orang. Sebab ketika TKI dihantarkan sampai kebandara, kita pastilah tidak mengharapkan mereka nantinya pulang dalam keadaan teraniaya atau dalam keadaan sudah menjadi mayat.

Pendidikan Untuk Semua Anak Bangsa
Oleh: Syam Alam
______________________________________________________________________

Ditengah perkembangannya, bangsa kita masih bergumul dengan berbagai permasalahan hidup. Begitu banyak masalah yang berpotensi dan sudah mempengaruhi perekonomian nasional. Untuk kesekian kalinya rakyat harus lebih mengencangkan ikat pinggangnya ketika mereka dihadapkan dengan berbagai peningkatan biaya hidup, termasuk ketika harus berhadapan dengan masih mahalnya biaya pendidikan.

Dunia pendidikan yang seharusnya sudah menyentuh semua lini masyarakat, hingga saat ini masih dirasa terlampau mahal. Masih banyak masyarakat yang seharusnya dibebaskan dari biaya pendidikan justeru harus berbagi periuk antara memenuhi kebutuhan makan sehari hari dan menyisihkan biaya untuk pendidikan.

Sementara dilain sisi pemerintah dinilai masih kurang memberikan perhatian yang selayaknya terhadap dunia pendidikan. Pemerintah masih dianggap gamang dalam menyalurkan anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan sebagaimana diamanatkan konstitusi. Sebagaimana kita tahu, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 45 Tahun 2007, pemerintah seharusnya menyediakan anggaran sebesar 20 persen dari APBN bagi pendidikan.

Masalah didunia pendidikan kita seharusnya tidak terjadi lagi ketika anggaran pendidikan sebesar 20 persen nantinya ditangani secara akuntabel, transparan dan bertanggung jawab. Alokasi anggaran Departemen Pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN 2009 ini tercatat yang paling tinggi dibanding departemen lain.

Selama ini, kecilnya anggaran dijadikan alasan terjadinya keterbelakangan pengembangan sumber daya manusia. Sekedar contoh, ketika pada tahun 2001 anggaran pendidikan kita hanya 10 persen dari APBN, di Thailand sudah menyentuh angka 30 persen. Kecilnya anggaran pendidikan inilah yang kemudian dijadikan kambing hitam bagi kemorosotan mutu pendidikan nasional kita.

Sudah seharusnya semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan dinegeri ini tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai ajang komersialisasi atau mencari keuntungan belaka. Karena semua rakyat berhak untuk menikmati pendidikan, maka sudah merupakani kewajiban bagi pemerintah untuk mengupayakan ketersediaan pendidikan untuk semua anak bangsa.

Selasa, 17 Februari 2009

Sikap Bijak Dalam Kebebasan Pers

Oleh: Syam Alam

Saat ini sudah bukan jamannya pers dikebiri. Pers sudah bisa menempatkan dirinya dalam posisi mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, sementara disisi lain sudah mampu bertanggung jawab terhadap sikap kritisnya.

Dimasa lalu, pers seakan jalan ditempat. Mereka sering bungkam atau dibuat bungkam untuk menyikapi gejolak sosial yang terjadi. Jelas kehidupan pers semacam ini adalah kehidupan pers yang tidak sehat dan tidak mendidik bagi upaya pencerdasan masyarakat. Apalagi, ketika dihadapkan pada isu kampanye partai politik, dimana saat suhu memanas, kontrol terhadap pers sering terlampau menjerat.

Dimasa reformasi, kita menyaksikan wajah pers yang lain, yaitu pers yang lebih bergairah dan mulai berani menempatklan posisi mereka sebagai kontrol pemerintah. Namun pada kenyataannya kita masih sering menyaksikan pers yang kebablasan serta tidak seimbang dalam pemberitaan. Asumsi yang berkembang saat ini, betapa pers kita masih diganggu oleh euphoria reformasi.

Menjelang pilpres 2009 suhu pemberitaan sudah mulai terasa memanas. Menghadapi masa kampanye biasanya kita dihadapkan pada isu-isu yang yang tidak hanya menguliti kebijakan, namun juga sudah mengarah pada caracter assination beberapa tokoh yang tidak dikehendaki. Tentu saja kita tidak menginginkan pemberitaan yang tidak proporsional dan membuat rakyat menjadi bingung. Yang kita harapkan justeru menjelang pilpres 2009, pers kita mampu jauh lebih dewasa dalam bersikap dan menempatkan diri.

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjamin bahwa selama masa kampanye nanti tidak akan ada pencabutan perijinan pers, ini memang cukup melegakan. Sebagaimana ditegaskan Menteri Komunikasi Muhammad Nuh, pemerintah memberikan garansi tidak akan ada pembatasan termasuk pencabutan perijinan pers. Namun, apakah ini menjamin bahwa pers kita akan menjadi lebih dewasa ?.

Terlepas dari nada sumbang yang beredar bahwa kebebasan pers yang dijamin presiden adalah sebuah manuver untuk meraih simpati menjelang pilpres 2009, namun yang jelas kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar ini harusnya disikapi jauh lebih dewasa oleh insan pers. Dengan kebebasan pers ini kita justeru ingin menyaksikan (juga membuktikan) pers jauh yang lebih dewasa, lebih matang dan lebih bertanggung jawab.

Rabu, 28 Januari 2009

KORUPSI KOK BERJAMAAH ...

Oleh: Syam Alam

Segala sesuatu yang dilakukan secara bersama sama tentu dampaknya akan sangat luar biasa. Tidak peduli apakah itu dilakukan untuk sesuatu berupa kebaikan atau sebaliknya, kejahatan.

Dalam melakukan shalat misalnya. Bila dilakukan secara bersama sama atau berjamaah, maka pahala yang diterima bakal berbeda dengan shalat yang dilakukan secara sendiri sendiri. Bisa berlipat lipat sampai dua puluh tujuh derajat. Luar biasa.

Nah, ketika korupsi sudah menjadi bagian dari sistem, kita kemudian mengenal apa yang disebut sebagai korupsi yang dilakukan secara bersama sama. Korupsi yang dilakukan secara sistemik ini, sudah mengubur “trend” lama yaitu korupsi yang dilakukan secara sendiri sendiri. Bahkan, sebuah obrolan diwarung kopi mengatakan, “Ah, jaman sekarang mah kalau korupsi dilakukan sendiri sendiri sudah usang. Korupsi sekarang mah dilakukan berjamaah!.” Berjamaah?!.

Yah, berjamaah. Karena korupsi di Indonesia bukan hanya menyangkut penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) saja, namun sudah menjadi bagian dari kekuasaan yang saling bersentuhan satu dengan lainnya. Bahkan, korupsi sudah menjadi bagian yang melekat dengan sistem itu sendiri.

Upaya maksimal penegakan hukum harus disertai pendekatan sistem atau systemic approach karena korupsi sudah mengakar sebagai korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan.

Dengan pendekatan ini, misalnya, nantinya lembaga peradilan tidak lagi melakukan “tebang pilih” kasus korupsi yang bakal ditangani. Apalagi bila ini menyangkut kasus korupsi berjamaah yang tidak hanya menggurita dikalangan eksekutif saja namun juga melibatkan institusi kenegaraan lainnya seperti legislatif, yudikatif maupun institusi negara non departemen.

Cukup sudah negeri ini terkoyak moyak lantaran korupsi yang dilakukan secara membabi buta. Dan karena korupsi sudah lazim dilakukan secara berjamaah maka memeranginya pun harus dilakukan secara berjamaah pula dengan melibatkan semua pihak termasuk masyarakat dan pers sebagai social power dan institusi kenegaraan sebagai political power.

Saatnya mengatakan, “Tidak ada tempat bagi koruptor dinegeri ini!.”

MUHASABAH

Ini cerita tentang seseorang yang tinggal didesa terpencil. Suatu ketika tanpa disangka sangka orang desa ini bertemu dengan kawan lamanya yang telah menjadi orang kaya dikota. Lalu diundanglah dia kekota dan dijamu dengan berbagai fasilitas yang belum pernah dia rasakan selama tinggal didesa.

Celakanya, orang ini – sebut saja si fulan - pelit bertanya dan terkesan sok tau. Begitu pun ketika dia diinapkan disebuah hotel berbintang dengan fasilitas kamar yang lengkap, dia tidak mau bertanya dan nrimo saja atas semua yang disediakan pihak pengelola hotel.

Suatu ketika si fulan hendak mandi. Dia bingung ada dua kran, yang satu berwarna merah dan satunya lagi berwarna biru. Akhirnya dia memilih memutar kran yang berwarna merah. Dia kaget!. Airnya panas. Lalu dia putar kran yang biru. Dia pun kaget!. Airnya dingin. Akhirnya dia pun mulai asyik menikmati mandinya.

Kemudian, si fulan memberanikan diri bertanya kepada pelayan hotel, “Pak, dimana ya tempat menjual kran merah dan biru seperti yang dikamar mandi ini?.” Pelayan hotel dengan muka penuh tanya menjawab, “Oh, bapak bisa membelinya ditoko material. Modelnya juga banyak kok pak.”

Nah, si fulan berpikir, nanti kalau hendak pulang kedesanya dia akan membeli dua kran warna merah dan biru seperti yang ada dihotel tempat dia menginap.

Singkat cerita, tibalah waktunya si fulan pulang kembali kekampungnya. Sebelumnya, tentu saja dia mampir ketoko material untuk membeli kran warna merah dan biru.

Setiba dikampungnya, dia pamerkan kedua krannya itu sembari mengatakan akan membuat kejutan hebat. Maka tidak berlama lama dia menjebol tembok kamar mandinya untuk menempelkan dua krannya tadi. Setelah disemen rapi, maka dia mempersilahkan orang orang menyaksikan, bahwa kran yang berwarna merah akan mengeluarkan air panas dan kran yang biru mengeluarkan air dingin.

Tapi tentu saja dia kaget bukan kepalang!. Ternyata ocehannya tidak terbukti dan orang orang dikampungnya menganggapnya sudah gila. Ramai orang kampung mengatakan bahwa si fulan sepulang dari kota menjadi gila.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari keluguan – atau mungkin lebih tepat disebut kedunguan - si fulan ini?. Inilah tamsil betapa seringnya kita - dengan tidak sadar tentunya - berperilaku seperti si fulan yang tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa untuk memancarkan air panas dan dingin kedua kran tadi harus dihubungkan dengan pipa lalu ketandon dan sebagainya sampai pada konektor yang menghubungkan dengan water heater serta proses lainnya. Semuanya tidak tampak dipermukaan, tapi nyatanya ada.

Artinya, ada proses yang dia lupakan. Dia hanya tahu hasilnya saja, namun melupakan bahwa hasil atau output tadi harus melalui proses yang panjang. Kita pun sering bersikap demikian. Kita hanya mampu melihat pohon tumbuh, hewan beranak pinak, anak anak kita tumbuh berkembang, harta semakin banyak atau usia yang semakin menggerus badan dan seterusnya, tanpa mau menelusuri adanya "kanal kanal“ yang menghubungkan semua hasil tadi dengan Sang Maha Pencipta, Allah Azza wa Jalla. Kita sering lupa menyisihkan waktu untuk menelusuri kazanah keagungan Sang Maha Pencipta. Semoga kita tidak (semakin) terlanjur menjadi "dungu" dan sok tau hanya lantaran kita memang tidak mau tahu. Wallahu a’lam.

Kamis, 22 Januari 2009

TANGISAN UMAR BIN ABDUL AZIZ
Oleh : Syam Alam

Setelah dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz beranjak kemusholanya. Disanalah dia menangis tersedu sedu ...

Ketika ditanya mengapa beliau menangis sejadi jadinya, padahal baru memperoleh kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz menjawab:

“Aku memikul amanat ummat ini dan aku menangisi orang orang yang menjadi amanat atasku, yaitu kaum fakir miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang kehilangan tujuan dan terlantar, orang orang yang dizalimi dan dipaksa menerimanya, orang orang yang banyak anaknya dan berat kehidupannya. Aku merasa bertanggung jawab atas beban mereka. Karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku.”

Masa terus berlalu, dunia berpacu dengan ambisi manusia untuk terus mencari dan menumpuk kekuasaan. Kini yang sering kita jumpai begitu banyak orang yang meluapkan suka citanya ketika mendapatkan kekuasaan. Dengan dalih “syukuran”, mereka mengadakan berbagai pesta. Luapan gelora kebungahan ini kemudian menenggelamkan esensi jabatan atau kekuasaan yang baru didapatnya.

Betapa kekuasaan sudah dipandang sebagai tujuan dan bukannya “kendaraan” untuk mensejahterakan ummat. Karena itu jangan heran, bila untuk mendapatkan kekuasaan, banyak orang yang kemudian menempuh jalan yang tidak rasional seperti pergi kedukun, mencari azimat, memakai aji aji pengasih, menyuap, menelikung, membayar pengerahan massa serta perilaku lain yang sungguh menjijikkan.

Sungguh malu rasanya kalau harus membandingkan suasana hati Umar bin Abdul Aziz ketika mendapatkan kekuasaan, dengan para pejabat kita yang justeru berpesta pora dan lupa diri. Sungguh, seharusnya kita malu ...

Jumat, 16 Januari 2009


NASIHAT ULAMA
Oleh:
Syam Alam

Setelah dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz meminta nasihat kepada para ulama. Salah satu ulama, Salim bin Abdullah memberi nasihat, “Wahai khalifah, jadikanlah seluruh rakyat sebagai ayah, saudara dan anakmu. Berbaktilah kepada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan saudara saudaramu dan sayangilah anakmu.”

Ulama lain, Muhammad bin Ka’ab menasihatinya, “Wahai khalifah, cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Dan bencilah sesuatu untuk orang lain, sebagaimana engkau membenci sesuatu untuk dirimu sendiri.”

Sementara ulama Hassan al-Basri menasihatinya, “Demi Allah aku telah bergaul dengan banyak orang yang sedap dipandang oleh mata dan tutur katanya menyentuh hati. Ucapan mereka adalah penawar bagi apa yang ada didalam dada. Memelihara dengan apa yang halal, lebih mereka utamakan daripada menjaga diri dari yang haram. Perhatian mereka terhadap shalat sunnat lebih besar daripada perhatian kita terhadap shalat fardhu. Mereka menutupi kebaikan kebaikan yang mereka lakukan, sebagaimana kita menutup nutupi segala keburukan kita. Mereka menangis jika berbuat kebaikan, sementara kita tertawa jika berbuat kesalahan.”

Mendengar semua nasihat tadi, khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu sedu sambil menutupi wajahnya.









Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.