Jumat, 15 Mei 2009


SARIBAN NAMANYA ...

Sariban namanya. Dia sudah tidak muda lagi. Rambut putihnya menyembul dibalik topi caping yang selalu dikenakannya. Walau usianya sudah beranjak 66 tahun namun nafasnya masih panjang dan suaranya lantang. Dengan sepeda tuanya – yang disana sini dilengkapi alat alat kebersihan - dia tak pernah menyerah untuk terus berkeliling kota Bandung memunguti sampah yang berserakan, mencabuti paku paku dipepohonan atau menyapu jalan yang dirasa masih kotor. Disengat panas matahari otot otot tangannya tampak berkilat. Untuk ukuran orang seusianya, aktifitas yang dilakukan Sariban sungguh berat. Tapi dia tak hirau dengan semua keterbatasannya itu. Seakan tak ingin berkompromi dengan tubuh kecilnya yang telah beranjak senja.

Sariban namanya. Pensiunan karyawan Rumah Sakit Mata Cicendo ini mungkin bukan siapa siapa. Apalagi buat anda yang dulu terlanjur meneriakinya sebagai orang gila. Yah, Sariban memang pernah dianggap kurang waras, sinting atau setidaknya dianggap sebagai "nu gelo anyar" (orang yang baru gila).

Sariban namanya. Dia bertutur tentang berton lebih paku yang dikumpulkan dirumahnya. Bukan paku yang dia beli dari toko material untuk membangun rumah. Bukan. Tumpukan berton paku itu tadinya tertancap dipepohonan diseantero Bandung. Sariban tak tega. Makanya tangan kecilnya rajin mencabuti paku paku tadi dari pohon pohon dikota Bandung. Katanya, "Pohon pohon itu kalau bisa ngomong, pasti akan berteriak kesakitan dipaku sana sini."

Sariban namanya. Dia tidak mengharapkan bayaran kita. Tulus dia kayuh sepeda tuanya mengitari kota Bandung hanya untuk mengabdi pada komitmen yang dia paku dalam hatinya. Sebuah cita cita luhur untuk menjaga lingkungan hidup agar terus bersahabat, bersih, hijau dan berbunga. Sariban meyakini antara lingkungan hidup dengan manusia dulunya telah terjalin sebuah interaksi yang utuh. Untuk itu lingkungan hidup rela dimanfaatkan untuk menopang segala kebutuhan hidup manusia. Namun kini manusia telah melampaui batas maksimal pemanfaatan tersebut. Yang terjadi saat ini adalah penzoliman manusia atas lingkungan hidupnya. Sariban mengelus dada. “Sungguh ironis,” katanya. Maka akibatnya telah ditanggung manusia. Planet yang bernama bumi ini kini terasa semakin garing, panas dan kurang bersabat.

Sariban namanya. Dia kembali mengelus dada. Atmosfer yang semakin menipis, ketersediaan air yang semakin terkikis dan pepohonan yang semakin tergerus kegilaan jaman, adalah potret yang ingin dia sampaikan kepada kita.

Sariban namanya. Sungguh jangan remehkan apa yang tlah dia buat. Dia mungkin bukan siapa siapa. Tapi bila ada berjuta orang yang memiliki tekad seperti yang dia punya, kita tak perlu teriak soal global warming dan berbagai krisis lingkungan hidup lainnya.

Sariban namanya. Dia masih rajin memunguti berserak sampah yang mungkin tadinya kita buang dari balik jendela mobil. Tangannya yang berkilat diterpa panas matahari mengajarkan kita agar membuang sampah pada tempatnya. Sederhana memang. Tapi dari hal yang sederhana itu banyak orang yang kemudian terlihat menjadi seakan tidak beradab. Karena dengan semena mena telah menyakiti lingkungan hidupnya sendiri. (Syam Alam)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.