Rabu, 01 Juli 2009

RAKYAT BUKAN KUDA BEBAN


Saat ini terasa sekali nama ‘rakyat’ dikumandangkan dimana mana. Dari panggung kepanggung, juga diberbagai media massa cetak dan elektronik - bahkan didunia maya sekalipun - nama rakyat diagung agungkan sebagai pertaruhan dari sebuah perjuangan mulia seorang pemimpin ( dan bakal pemimpin tentunya).

Dengan mengepalkan jemari tangannya, banyak politisi yang mendadak ‘sangat mencintai’ rakyatnya sampai harus berteriak dengan nada tinggi, “Rakyat harus dibela!”. Dan seterusnya, sehingga rakyat demikian tersanjung. Betapa nama mereka demikian mendapat tempat dihati pemimpinnya.

Seharusnya, tanpa ada pertaruhan dan ‘pementasan’ dipanggung pun, rakyat tetap harus dibela termasuk dibela haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak, kemakmuran yang diidamkan serta dibela haknya dimata hukum. Pendek kata, rakyat tidak boleh termarjinalkan oleh ambisi meraih kekuasaan. Mau ada pemilu atau tidak, rakyat tidak boleh menjadi komoditas politik yang kemudian dilupakan.

Bila saat pemilu menjelang kemudian banyak pemimpin yang ‘berbaik hati’ memposisikan diri sebagai ‘pelayan rakyat’, seharusnya semangat menjadi ‘pelayan’ itu terus bersemi. Yang harus dipahami, pemimpin adalah juga entrepreneur politik. Artinya, mereka adalah aktor yang siap dengan gagasan cerdas, memperjuangkannya dan lalu siap pula menanggung risiko ditentang oleh oligarki kepentingan yang kuat. Bagi mereka rakyat bukan deretan angka yang dibutuhkan untuk meraih kekuasaan. Bagi mereka rakyat justeru memiliki bargaining position yang tinggi untuk diperjuangkan segala hak hidupnya.

Seorang ulama besar, Salim bin Abdullah pernah memberi nasihat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Wahai khalifah, jadikanlah seluruh rakyat sebagai ayah, saudara dan anakmu. Berbaktilah kepada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan saudara saudaramu dan sayangilah anakmu.”

Mungkin terlalu mengawang awang bila kita mengharapkan pemimpin negeri ini memperlakukan rakyat sebagaimana yang dinasihatkan Salim bin Abdullah. Setidaknya, cukuplah pemimpin kita tidak mencederai janji janji manisnya disaat dia menjadikan rakyat sebagai deretan angka untuk meraih kekuasaan.

Mereka tidak perlu (dan mungkin juga mustahil) berlaku bagai khalifah Umar bin Khattab yang rela memanggul gandum dipundaknya untuk diserahkan kepada rakyatnya yang kelaparan. Bagi rakyat negeri ini, cukuplah para pemimpinnya mencintai mereka sebagaimana perlakuan manis dan mesranya dikala masa kampanye berlangsung.

Bahkan mungkin saja mereka (baca: rakyat) tidak begitu mengharapkan pemimpinnya berlaku sebagai ‘pelayan’ yang peka menyuarakan keinginan ‘sang majikan’. Dinegeri ini rakyat sudah banyak menelan rasa kecewa dan sakit hati lantaran kerap disuguhi janji politik yang kemudian diingkari. Senyatanya mereka adalah pemilik negeri ini sehingga sungguh tak pantas kita memperlakukan mereka hanya sebagai kuda beban yang ditunggangi untuk dikorbankan. (Syam Alam)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.