SUPREME OF LAW
Oleh: Syam Alam
Sebenarnya sederhana saja. Saat kita hendak membangun supreme of law atau supremasi hukum, maka tegakkan saja hukum tanpa pandang bulu. Namun hal yang sederhana ini sekarang dibuat berbelit belit hanya lantaran banyak oknum penegak hukum masih memandang “panjang pendeknya tebal tipisnya” bulu orang orang yang bermasalah dengan hukum.
Memang, kita sering mendengar bahwa supremasi hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Setidaknya, ada semangat penegakan hukum yang masih membara. Namun yang menjadi ironi, ketika hukum itu kemudian berkenaan dengan dirinya, keluarga atau kroninya, maka banyak oknum penegak hukum dinegeri ini berkelit dan mengumbar pernyataan “pembenaran” yang menyesatkan. Bahkan, kebohongan publik sering dilontarkan.
Jadi, ada semacam dualisme sikap. Disatu sisi oknum penegak hukum ini mengajak, “Mari kita tegakkan supremasi hukum dinegeri ini.” Namun, bila itu kemudian menyangkut kepentingan bahkan isi perutnya, dia akan berkata, “Eh ... nanti dulu.” Maka dibuatlah skenario dimana penyelesaian hukumnya menjadi abu abu, tidak jelas mana hitam mana putihnya. Ini tentu sungguh sesat dan menyesatkan. Sebab, manalah mungkin kita berharap air dihilir jernih bila air dihulu sudah tercemar?!.
Ada sebuah kisah manis tentang bagaimana seharusnya supremasi hukum ditegakkan. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW dikunjungi seorang sahabatnya. Sahabat ini memohon dengan sangat agar Nabi membebaskan kerabatnya yang berbuat kejahatan. Lalu bagaimana jawaban Nabi?. Dengan tegas beliau mengatakan, “Seandainya anak perempuanku sendiri - yaitu Fatimah Azz Zahra - mencuri,maka niscaya dia akan tetap kupotong tangannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar