Kamis, 15 Januari 2009


SUPREME OF LAW
Oleh: Syam Alam

Sebenarnya sederhana saja. Saat kita hendak membangun supreme of law atau supremasi hukum, maka tegakkan saja hukum tanpa pandang bulu. Namun hal yang sederhana ini sekarang dibuat berbelit belit hanya lantaran banyak oknum penegak hukum masih memandang “panjang pendeknya tebal tipisnya” bulu orang orang yang bermasalah dengan hukum.

Memang, kita sering mendengar bahwa supremasi hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Setidaknya, ada semangat penegakan hukum yang masih membara. Namun yang menjadi ironi, ketika hukum itu kemudian berkenaan dengan dirinya, keluarga atau kroninya, maka banyak oknum penegak hukum dinegeri ini berkelit dan mengumbar pernyataan “pembenaran” yang menyesatkan. Bahkan, kebohongan publik sering dilontarkan.

Jadi, ada semacam dualisme sikap. Disatu sisi oknum penegak hukum ini mengajak, “Mari kita tegakkan supremasi hukum dinegeri ini.” Namun, bila itu kemudian menyangkut kepentingan bahkan isi perutnya, dia akan berkata, “Eh ... nanti dulu.” Maka dibuatlah skenario dimana penyelesaian hukumnya menjadi abu abu, tidak jelas mana hitam mana putihnya. Ini tentu sungguh sesat dan menyesatkan. Sebab, manalah mungkin kita berharap air dihilir jernih bila air dihulu sudah tercemar?!.

Ada sebuah kisah manis tentang bagaimana seharusnya supremasi hukum ditegakkan. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW dikunjungi seorang sahabatnya. Sahabat ini memohon dengan sangat agar Nabi membebaskan kerabatnya yang berbuat kejahatan. Lalu bagaimana jawaban Nabi?. Dengan tegas beliau mengatakan, “Seandainya anak perempuanku sendiri - yaitu Fatimah Azz Zahra - mencuri,maka niscaya dia akan tetap kupotong tangannya.”

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.